EKSPRESNEWS – Di era digital dengan intensitas penggunaan media sosial 24/7, menjadi cantik merupakan suatu keharusan. Wajah bukan sekadar wajah, melainkan adalah suatu “branding”. Kecantikan tidak lagi soal realitas, namun soal persepsi.
Standar kecantikan di Indonesia yang tidak masuk akal, menjadikan mereka yang tampil di media sosial memilih menggunakan filter glowing dan editan percantik agar diterima netizen. Filter menjadi topeng penutup wajah asli seseorang agar tetap bisa menampakkan diri di media sosial.
Fenomena ini sangat berkaitan dengan drama Korea True Beauty. Meskipun drakor ini dirilis 5 tahun yang lalu, kisah dalam series True Beauty sangat sesuai dengan kondisi saat ini.
True Beauty hadir menyentil realita tersebut bagaikan pisau tajam dan menyentuh. Drama ini memperlihatkan bagaimana standar kecantikan modern menjadi topeng yang dipakai untuk bertahan di tengah tekanan sosial.
Karakter pemeran utama, Lim Ju-kyung adalah representasi para remaja dan orang dewasa yang merasa tidak cukup baik secara fisik. Ia merasa takut unjuk diri baik di dunia nyata dan dunia maya dengan memperlihatkan wajah aslinya, karena takut dihakimi.
Berawal dari korban bullying sejak kecil, ia pun belajar make up agar bisa bertahan di dunia yang terlalu mudah menilai dan melabeli seseorang. Ju-kyung merasa layak tampil di depan umum setelah mahir merias wajahnya untuk menutupi jerawat dan rasa minder.
Hal ini bukan hanya karena ia ingin sekedar terlihat cantik, melainkan juga karena ia takut diolok, ditolak, dan dikucilkan.
Kisah ini tidak hanya tentang make up dan jadi cantik, tapi juga tentang survival.
Tentang bagaimana seseorang mengorbankan kenyamanan diri sendiri demi diterima oleh sekitarnya. Di balik komedi romantisnya, True Beauty adalah kritik sosial yang tajam terhadap budaya yang menuntut tidak hanya kecantikan tapi juga kesempurnaan, terutama pada perempuan.
Kini di media sosial, siapa pun bisa jadi korban komentar-komentar jahat dan tak pantas. Bahkan ketika mereka tidak melakukan kesalahan apapun, hanya karena mereka “terlahir tidak cantik”.
Survei dari The Real State of Beauty – Dove (2025) mengungkapkan bahwa hanya sekitar 2% wanita di seluruh dunia yang menganggap diri mereka cantik. Perempuan merasa tertekan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis, baik yang didorong oleh media sosial maupun oleh masyarakat.
True Beauty menggambarkan betapa kerasnya standar sosial itu bekerja. Bahkan saat Ju-kyung sudah memiliki sahabat, pacar, dan tempat di sekolah, ia masih saja dihantui rasa takut akan wajah aslinya terlihat orang-orang.
Namun, melihat hubungan Lim Ju-kyung dengan dua tokoh utama laki-laki yaitu Lee Su-ho dan Han Seo-jun, membuktikan bahwa cinta yang tulus lahir dari penerimaan tanpa syarat. Bukan dari standar kecantikan yang sudah terbentuk di media sosial, melainkan dari kepribadian yang baik dan hati yang indah.
Pelajaran berharga dari drama ini adalah kecantikan tidak soal menutupi kekurangan, tetapi tentang menerima diri sendiri.
Saat Ju-kyung memilih untuk tampil tanpa riasan di depan umum, itu bukan hanya kemenangan personal, melainkan juga pernyataan bahwa identitas seseorang tidak ditentukan oleh standar orang lain.
Cinta yang ia dapatkan dari Su-ho juga tidak karena wajahnya yang dirias, namun karena keterbukaannya, ketulusan, dan keberaniannya menghadapi luka.
Kita hidup di era di mana tekanan untuk tampil sempurna datang dari berbagai arah, baik keluarga, teman, media sosial, bahkan diri sendiri. True Beauty mengajak kita untuk tidak hanya terpaku pada kecantikan luar, tapi juga menyadari bahwa yang paling berharga adalah sesuatu yang tidak bisa ditangkap lensa yakni kepercayaan diri, kejujuran, dan keberanian untuk tampil apa adanya, serta orang-orang yang bertahan meski melihat versi kita yang paling rapuh.
Daripada terus menyesuaikan diri dengan standar kecantikan yang tak ada habisnya, mungkin sudah saatnya kita bertanya “apa yang benar-benar membuat kita merasa cukup?” (***)
Penulis : Tazkiatul Amanda
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas











