EKSPRESNEWS – Kota Payakumbuh dengan ciri khasnya sebagai “City of Randang” menjadi bahan kajian mahasiswi doktoral Universitas Padjadjaran, Yesi Puspita. Dalam sidang disertasi yang berlangsung pada Kamis 6 Februari 2025, ia mempresentasikan penelitiannya yang berjudul Sustainable City Branding. Dalam kesempatan itu, Yesi Puspita menyampaikan beberapa saran untuk memperkuat branding Kota Payakumbuh tersebut.
Pertama, membangun museum randang sebagai tempat belajar sejarah dan budaya dan mengenal Randang Minangkabau dengan berbagai varian khas Payakumbuh. Kedua, membangun landmark “City of Randang” serta workshop terkait randang. Ketiga, memaksimalkan Kampung Randang sebagai destinasi kuliner melalui atraksi
marandang bagi wisatawan. Keempat, menambah varian randang untuk target pasar healty food dan vegetarian. Kelima, mempeluas pasar Randang sebagai makanan sehat untuk korban bencana, dan
makanan sehat untuk pasukan militer.
Di satu sisi Yesi juga menyampaikan kritik, penguatan branding Kota Payakumbuh sebagai Kota Randang masih belum melibatkan keterlibatan berbagai pihak dan masyarakat seluas mungkin. Dalam artian, masih ada indikasi bahwa upaya-upaya mengenai branding City of Randang terbatas pada sebagian instansi saja. “Masih terkesan ada ego Dinas/OPD ingin lebih baik atau menonjol dimata pimpinan,” ungkap Yesi, Sabtu 8 Februari 2025.
Lebih lanjut, Yesi menjelaskan bahwa branding Kota Payakumbuh sebagai City of Randang berpeluang untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan atau disebut Sustainable Development Goals (SDGs). Setidaknya terdapat 5 aspek yang harus terpenuhi di Kota Payakumbuh untuk membangun branding berkelanjutan, yakni dukungan ekonomi lokal, pariwisata berkelanjutan, pangan dan produksi, infrastruktur dan transportasi berkelanjutan, serta pendidikan dan kesadaran masyarakat. Lima aspek itu diarahkan untuk membentuk keseimbangan antara perekonomian, lingkungan, dan warga kota.
“Payakumbuh City of Randang memberikan harapan dan stimulus yang potensial bagi Pemerintah Kota Payakumbuh ke depan dalam membangun tata kelola pemerintaan yang baik dan bersih (good and clean) berbasiskan IKM Randang sebagai industri kuliner serta mewujudkan destinasi wisata kuliner (culinary tourism) dan wisata gastronomi (gastronomic tourism) dalam pengembangan pembangunan ekonomi daerah,” demikian tertulis dalam disertasi karya Yesi Puspita.
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas itu juga mengingatkan bahwa branding suatu kota mestinya melibatkan pengkajian mendalam dan berkelanjutan hingga sekitar 20 tahun ke depan. Oleh karena itu pemerintah Provinsi Sumbar perlu menetapkan sejarah randang sebagai salah satu naskah akademik yang menjadi arsip dan rujukan. Namun Yesi menilai, dukungan pemerintah Provinsi Sumbar masih minim untuk riset.
“Masih banyak hal yang perlu diluruskan soal randang. Istilah ‘randang’ sebenarnya lebih tepat daripada ‘rendang’ karena merujuk pada kebudayaan dan bahasa Minang, mengingat randang berasal dari gastronomi etnis Minang,” ungkap Yesi. Lebih khusus merujuk kepada sumber sejarah, kawasan Payakumbuh dan Limopuluah Koto adalah daerah asal kegiatan marandang atau memasak randang. Kegiatan marandang juga bermanfaat bagi para perantau Minang sejak masa lampau, mengingat masakan ini dapat tahan hingga berhari-hari dan tetap enak dikonsumsi. (DB)