EKSPRESNEWS – Peraturan Rektor Universitas Andalas ternyata mengatur bagaimana pola integritas dan moral pendidikan tinggi serta memegang teguh prinsip akademik dan etika ilmiah, seharusnya mengusut dan memberikan sanksi kepada seluruh dosen yang melakukan praktek plagiat. Jika tidak, berarti tidak ada artinya pola integritas dan moral serta etika akademik yang digadang-gadangkan oleh Unand.
Sekretaris universitas Aidnil Zetra mengatakan bahwa benar telah terjadi plagiat di dosen Unand dan diberikan sanksi. Hal itu telah menjadi keputusan dari Komisi Penegakan Kode Etik Profesi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas.
“Komisi telah menyelesaikan tugasnya dalam mengumpulkan fakta dan bukti terkait dugaan plagiarisme, itu sudah diberi sanksi,” ungkapnya kepada Indonesia Raya, Selasa 28 Januari 2025.
Aidinil menjelaskan bahwa Unand memiliki peraturan rektor sehingga akan menciptakan iklim plagiat yang minim. “Kami berterima kasih kepada Indonesia Raya karena telah memberikan kritik terkait hal ini termasuk persoalan di LPPM Unand yang kami kira tahun ini telah kami tetapkan aturan-aturan baru untuk melakukan klaim jurnal, hak kekayaan intelektual, maupun buku. Semuanya saat ini telah diatur,” katanya.
Lebih jauh, Aidinil mengatakan bahwa informasi yang disampaikan oleh Indonesia Raya tentu akan menjadi masukan bagi pimpinan universitas.
Pengamat sosial, Muhammad Daffa Benny kepada Indonesia Raya menyayangkan pernyataan dari Sekretaris Universitas Andalas bahwa dosen yang melakukan plagiat telah diberikan sanksi sesuai rekomendasi dari tim investigasi Unand.
“Seorang dosen diberi sanksi karena plagiarisme tentu saja merupakan tindakan yang tepat. Namun yang jadi persoalan, dosen-dosen lainnya ternyata melakukan tindak plagiarisme yang lebih parah namun tidak dikenai sanksi. Sedangkan satu dosen ini dihukum hingga kehilangan hak dasarnya sebagai pekerja, misalnya kehilangan hak atas remunerasi,” ujar Muhammad Daffa Benny saat berdiskusi dengan Indonesia Raya dikawasan Pondok “Pecinan” Kota Padang, Rabu 29 Januari 2025.
Jika begitu, kata Daffa, skemanya tentu saja tidak adil, karena seolah menumbalkan satu orang pelaku saja, sementara persoalan sistemik seperti ditutup-tutupi. Seolah-olah Unand mencuci tangan dengan memberi sanksi satu orang pelaku plagiarisme, sementara pelaku-pelaku lain yang lebih ‘elit’ malah dilindungi.
“Dari sini kita perlu melihat kembali bagaimana nasib dosen sebagai pekerja di struktur kampus yang sudah jadi PTN BH. Dosen semakin tereksploitasi, apa lagi yg belum punya kedudukan tinggi. Beban kerja tinggi, penghasilan tidak sebanding. Ini tentu memunculkan persoalan-persoalan lain karena tekanan yang dihadapi dosen sebagai pekerja,” tambahnya.
Mungkin ini adalah efek dari liberalisasi pendidikan. Menurutnya, seolah perguruan tinggi semakin berorientasi ke bisnis, mengenyampingkan kualitas pendidikan. Jika hak dasar dosen tidak dipenuhi, tentu akan berimbas kepada kualitas pengajarannya kepada mahasiswa. Tentu mahasiswa juga jadi korban. Sementara elit-elit kampus semakin diuntungkan secara finansial dan kedudukan.
Miranda Sofya salah seorang pengamat hukum sosial mengernyitkan dahinya sembari membaca satu paragraf pada pemberitaan Indonesia Raya sebelumnya. Ia mendapati bahwa ada dosen yang bisa menerbitkan ratusan buku dalam 1 tahun. Ia mempertanyakan bagaimana kualitas bukunya ?
“Saya tidak mengerti dengan pola maruk dan dengan menerbitkan 100 buku lebih dalam satu tahun itu bagaimana caranya ? Setahu saya, untuk menerbitkan buku itu butuh ide, pengumpulan data, penulisan naskah, pengeditan dan proses di penerbitan hingga pengurusan ISBN, langkah ini lumrah saja, tapi bagaimana dengan 100 judul lebih yang kemudia dia klaim untuk mendapatkan insentif,” tanyanya heran.
Menurutnya, mencari insentif tambahan bagi dosen dan disediakan fasilitas oleh kampus itu sudah benar. Namun, ia menilai dengan praktek-praktek culas itu memuakkan. “Saya juga terlibat dalam dunia akademis, tapi mengetahui praktek yang seperti ini, banyak yang mengatakan muak, saya meyakini dari sekian banyak dosen di Unand, tidak semua pula yang bermain kotor ini, rektor harusnya mengajak Indonesia Raya untuk bersama-sama membuka sekalipun aktornya adalah seorang guru besar atau profesor,” katanya.
Sehingga, dikatakan Miranda, bahwa rektor tidak seharusnya tebang pilih dalam menegakkan integritas dosen dan etika ilmiah. Tapi jika ini tidak diusut dan diinformasikan kepada publik, berarti benar bahwa Rektor Unand telah tebang pilih.
“Sesederhana itu. Satu dosen yang sudah diberikan sanksi adalah pelajaran berharga bagi Unand. Tapi kemudian jika ada dosen lain atau profesor lain yang melakukan hal sama, ya sanksi juga atau dulu ia pernah melakukan plagiat, ya sanksi juga donk, termasuk pak Rektor,” tutupnya mengakhiri pembicaraan. (Abdi)