Scroll untuk baca artikel
Berita

Rakyat Geruduk DPRD Sumbar, Protes Rencana Tata Ruang dan Wilayah

×

Rakyat Geruduk DPRD Sumbar, Protes Rencana Tata Ruang dan Wilayah

Share this article
Masyarakat sipil membentangkan spanduk dan menginterupsi ruang sidang untuk menyampaikan penolakan atas Ranperda RTRW.
Masyarakat sipil membentangkan spanduk dan menginterupsi ruang sidang untuk menyampaikan penolakan atas Ranperda RTRW.

EKSPRESNEWS – Masyarakat sipil dari berbagai usia dan kalangan datang ke ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Barat (DPRD Sumbar) untuk memprotes penanda tanganan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang dinilai bermasalah dan minim keterlibatan rakyat, Senin 17 Maret 2025.

Ketika rapat yang dihadiri Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah dan para anggota DPRD Sumbar itu berlangsung, lima orang membentangkan spanduk-spanduk berisi pernyataan protes, antara lain berbunyi “RTRW = Perampasan”, “RTRW Minim Partisipasi Bermakna”, hingga “RTRW Sumbar Cacat Prosedur”. Kemudian, terdengar sorakan lantang dari seorang bagian masyarakat sipil, “interupsi pimpinan sidang!”

Calvin, bagian aliansi masyarakat sipil sekaligus anggota LBH Padang lalu berorasi dengan lantang di ruang sidang, “kami meminta bapak ibu membatalkan terlebih dahulu pengesahan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Sumbar. Karena kami menilai masih minim partisipasi publik.” Dengan demikian ia menilai pembahasan RTRW itu cacat prosedur. Sementara UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan kepastian hukum.

Kemudian, dalam orasinya ia menyampaikan banyak warga yang bisa terdampak dan dirugikan oleh rencana proyek pembangunan, sehingga perlu ditinjau kembali. “Undang semua masyarakat, libatkan aspirasi masyarakat apakah mau melanjutkan proyek pembangunan ini atau tidak,” ucapnya. Calvin menegaskan pernyataannya tersebut adalah aspirasi masyarakat sipil Sumatera Barat.

Pimpinan sidang hanya menjawab, DPRD akan mengkaji kembali Ranperda RTRW. Setelah empat orang rakyat yang membentangkan spanduk digiring keluar ruangan oleh satpam, pimpinan sidang meminta pihak keamanan memperketat keamanan dari “pihak-pihak yang tidak berkepentingan” di ruang sidang. “Karena ini sidang istimewa,” ungkap salah satu jajaran penanggung jawab sidang. Menanggapi itu, Calvin menyatakan sidang paripurna di DPRD Sumbar semestinya bisa dipantau langsung oleh rakyat umum, karena gedung tersebut dibangun dengan modal dari rakyat.

Sebagai informasi, pada Minggu 16 Maret 2025 telah berlangsung diskusi publik di LBH Padang dengan mengundang pembicara dari LBH Padang, Walhi Sumbar, akademisi, Panitia Khusus (Pansus) Ranperda RTRW Sumbar, dan Dinas BMKCTR Sumbar. Dalam kesempatan itu, anggota Pansus menegaskan bahwa telah ada upaya pelibatan masyarakat dalam pembahasan Ranperda RTRW, namun ia mengakui belum sampai pada tahap masyarakat terkecil di tingkat Nagari atau Desa.

RTRW Sumbar 2025-2045 Berpotensi Memperburuk Kondisi Lingkungan Hidup

Tindakan protes oleh masyarakat ini sejalan dengan kajian dari organisasi seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar yang menilai bahwa RTRW tersebut tidak berpihak kepada rakyat, termasuk masyarakat adat. Selain itu RTRW tersebut dinilai lebih mementingkan masuknya investasi daripada keberlanjutan lingkungan hidup. Sebagai dampaknya, potensi bencana alam di Sumbar diprediksi semakin meningkat.

Uraian itu antara lain dijelaskan oleh periset Walhi Sumbar, Tommy Adam. “Pembahasan ini mengungkap berbagai kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada lingkungan dan masyarakat, serta berpotensi melegalkan eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem,” ungkapnya ketika ditemui setelah diskusi publik di LBH Padang, Minggu 16 Maret 2025.

Ia menegaskan, salah satu poin bermasalah dalam rancangan RTRW adalah penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/Negara (APBD/APBN). Sementara Walhi menilai reklamasi dan rehabilitasi semestinya adalah tanggung jawab pengusaha terkait, bukan menggunakan uang rakyat yang ada di APBD/APBN. “Ini justru menunjukkan keberpihakan pada industri tambang, bukan kepada masyarakat dan lingkungan,” jelas Tommy.

Kemudian ia menyinggung Pasal 57 Ayat 1 yang mengarahkan pengembangan industri berbasis sumber daya kelautan, pertanian, dan perkebunan secara optimal di Kawasan Strategis Provinsi (KSP) Sungai Beremas. “WALHI Sumbar mempertanyakan apakah ini merupakan upaya terselubung untuk mengakomodir Proyek Strategis Nasional (PSN) seluas 30.000 hektare di Nagari Air Bangis yang telah mendapat penolakan luas dari masyarakat,” sambungnya. Jika benar demikian, menurutnya pasal ini merupakan bentuk pengabaian terhadap aspirasi rakyat dan ancaman serius terhadap lingkungan pesisir.

Selanjutnya, Tommy membahas Pasal 89A yang membahas peluang kegiatan non-kehutanan di kawasan hutan lindung dengan memuat kalimat “mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan.” Menurutnya kalimat tersebut sangat multitafsir dan berpotensi menjadi celah bagi izin tambang untuk masuk ke kawasan hutan.

Terlebih, RTRW juga mencantumkan program “inventarisasi daerah yang berpotensi untuk usaha pertambangan yang berada pada kawasan hutan lindung.” Menurutnya kalimat tersebut seolah melegitimasi perusakan hutan demi eksploitasi tambang. Padahal, Tommy menegaskan kawasan hutan lindung di Sumbar berada di topografi curam sampai terjal, bila dibuka akan berdampak parah pada bencana ekologis.

Dalam kebijakan perwujudan kawasan perikanan, RTRW juga mencantumkan program pengembangan sentra budidaya perikanan laut (udang, kerapu, dan rumput laut) dengan pendanaan dari APBN, APBD, dan kementerian terkait. Namun WALHI Sumbar menolak program tambak udang di pesisir yang telah terbukti mencemari lingkungan dan merusak ekosistem pesisir yang sudah kritis. Menurutnya kebijakan yang terdapat dalam RTRW tersebut harus dicabut demi menjaga keberlanjutan wilayah pesisir yang telah terdampak abrasi dan pencemaran.

Kemudian, Walhi juga mempertanyakan poin RTRW yang mencantumkan program pengembangan energi panas bumi di Kabupaten Solok, namun tidak menyebutkan lokasi spesifiknya. WALHI Sumbar menduga poin itu merujuk pada Gunung Talang, yang sebelumnya menjadi sasaran proyek panas bumi oleh Hitay, perusahaan yang menurut catatan Walhi mendapat penolakan keras dari masyarakat.

Lalu, Walhi mempertanyakan rencana pembangunan Flyover Air Mancur dengan anggaran APBN dari Kementerian Pekerjaan Umum. Namun, lokasi proyek ini belum dijelaskan dalam RTRW. Jika dibangun di kawasan Lembah Anai, Walhi menilai proyek tersebut berpotensi merusak ekosistem cagar alam yang seharusnya dilindungi.

Lebih lanjut, RTRW juga mencantumkan penyediaan halte/stasiun mini dan jalur pejalan kaki di kawasan wisata Anai Resort dan Lembah Anai. WALHI Sumbar menduga kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan aspek risiko bencana yang telah pernah terjadi pada Mei lalu.

WALHI Sumbar juga menyoroti kelemahan besar dalam RTRW yang tidak mengakomodir perlindungan kawasan sempadan sungai dari aktivitas pembangunan dan perumahan. Padahal, menurutnya pelanggaran terhadap sempadan sungai telah menjadi penyebab utama banjir dan degradasi ekosistem riparian di berbagai wilayah di Sumatera Barat.

Kesimpulannya, WALHI Sumbar menegaskan RTRW Sumatera Barat 2025-2045 lebih banyak mengakomodasi kepentingan investasi dan eksploitasi sumber daya alam, ketimbang melindungi lingkungan dan hak-hak masyarakat serta dilakukan secara terburu-buru. “Jika RTRW ini tetap disahkan tanpa revisi, maka Sumatera Barat akan menghadapi ancaman besar berupa deforestasi, pencemaran pesisir, konflik lahan, serta bencana ekologis yang lebih parah di masa depan,” tegas Tommy.

Selain itu, tanggapan kritis juga muncul dari rakyat Mentawai yang mempertanyakan hak masyarakat adat. Dalam Ranperda RTRW Sumbar 2025-2045, kawasan hutan adat yang diakomodir hanya daerah Kabupaten Dharmasraya, terdapat pada pasal 39. Sementara di Sumbar terdapat lebih banyak masyarakat adat, termasuk Mentawai.

Markolinus Sagulu, Ketua Forum Mahasiswa Mentawai mengkhawatirkan semakin masifnya eksploitasi kayu dari hutan Mentawai demi kepentingan industri, sehingga ruang hidup warga lokal dan masyarakat adat Mentawai semakin menjadi korban. “Katanya Perancangan Ranperda RTRW sudah melibatkan masyarakat, tapi ini kan (dugaan, red.) manipulasi, kita baru diberi tahu poin-poinnya ketika menjelang disahkan,” ungkapnya, Senin 17 Maret 2025. (DB)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *