PADANG – Forum Mahasiswa Mentawai (Formma) Sumbar melaksanakan Seminar Nasional dengan tema “Menuju Pembangunan Mentawai Mantab (Mandiri, Tangguh, dan Berkelanjutan)” di Gedung KNPI, Kota Padang pada Jumat 15 November 2024 pagi. Kegiatan tersebut sekaligus membuka pelantikan kepengurusan dan keanggotaan baru organisasi mahasiswa asal Kepulauan Mentawai tersebut.
Seminar tersebut menghadirkan diskusi yang membahas persoalan-persoalan di sekitar masyarakat dan alam Kepulauan Mentawai. Salah satu pemantik diskusi, Bayu dari Trend Asia mengingatkan, Kepulauan Mentawai sebagai gugusan pulau-pulau kecil sangat bisa terpengaruh perubahan iklim, misalnya kenaikan permukaan air laut.
“Perubahan iklim ini terjadi karena penggunaan energi kotor serta deforestasi yaitu pengurangan kawasan hutan,” jelas pemateri yang datang dari Jakarta tersebut.
Lalu, ketimpangan penggunaan lahan juga menjadi persoalan yang harus menjadi perhatian. Ia menjelaskan berdasarkan data, sebagian besar kawasan Kepulauan Mentawai berfungsi sebagai hutan produksi sebanyak 42% dan sebagai taman nasional sebanyak 41%. Dengan demikian, kawasan yang sepenuhnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat hanya sisa yang sebanyak 17%. Perlu diketahui, total luas Kepulauan Mentawai sekitar 6.001 KmĀ².
Selanjutnya, Rifai Lubis dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) menekankan pentingnya masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumber pangan setempat agar bisa mandiri dan tangguh. Dengan begitu, masyarakat tidak harus terlalu bergantung pada nilai uang yang biasa dipergunakan untuk membeli bahan-bahan dari luar daerah.
“Logikanya seperti ini: semakin masyarakat memanfaatkan bahan-bahan lokal untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka masyarakat semakin tidak bergantung pada uang sehingga masyarakat pun akan lebih menjaga dan melestarikan alamnya,” jelas Rifai.
Turut juga mengisi diskusi, Febrianti yang bekerja sebagai jurnalis Tempo. Ia menjelaskan, Kepulauan Mentawai sangat rentan terpengaruh krisis iklim antara lain karena kerusakan alam yang timbul karena berbagai izin eksploitasi hutan.
“Eksploitasi hutan di Mentawai secara masif sudah bermula sejak 1969 melalui pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada 6 perusahaan,” ujarnya. Selain itu dampak krisis iklim juga bisa memusnahkan beberapa binatang primata endemik Mentawai yang kini sudah berada dalam posisi terancam. Belum lagi kendala kesulitan air minum di beberapa desa dan potensi bencana yang meningkat karena penggundulan hutan dan perubahan iklim.
Ia menekankan, “harus ada upaya pemerintah, masyarakat, dan semua pihak untuk menghentikan penebangan hutan di Mentawai,” tandas Febrianti.
Sebagai penutup, Ketua Formma Sumbar periode 2022-2024 Heronimus Eko Zebua yang akrab dengan panggilan Nimus menekankan pentingnya keterlibatan generasi muda terhadap persoalan Mentawai. Hal ini mengingat anak muda adalah populasi dominan di Indonesia secara umum, termasuk di Mentawai.
Pada hari yang sama dengan diskusi itu, roda kepemimpinan Formma Sumbar resmi beralih dari Heronimus kepada Marco sebagai Ketua Formma Sumbar yang baru disahkan. (DF)