Ditulis oleh Anisya Putri Andria, mahasiswi D4 Bahasa Inggris Politeknik Negeri Padang
EKSPRESNEWS – Di era media sosial, aktivitas makan tidak lagi semata-mata untuk mengisi perut. Bagi sebagian anak muda, makan kini menjadi bagian dari gaya hidup digital untuk ajang eksistensi dan harus tampil menarik di media sosial.
Tak heran, makanan kini dinilai bukan hanya dari rasa dan harga, tapi juga dari seberapa estetik tampilannya. Di Padang dan berbagai kota lainnya, kafe dan restoran berlomba-lomba mendesain ruang dengan dekorasi unik dan pencahayaan dramatis demi menarik perhatian generasi muda yang gemar membagikan momen kuliner ke media sosial.
“Bisa dibilang anak muda sekarang mematok hidup mereka pada media sosial. Mereka jadi kehilangan jati diri karena standar yang dibentuk dari sana. Makanan yang viral belum tentu sehat, tapi tetap dicoba karena FOMO atau karena direkomendasikan influencer,” ujar Fikhra Azmi, salah satu mahasiswi Politeknik Negeri Padang.
Tak sedikit dari mereka yang rela merogoh kocek lebih dalam untuk makan di tempat yang sedang tren, hanya demi konten. Hal ini menunjukkan bagaimana kebutuhan untuk eksis di dunia maya terkadang mengalahkan kebutuhan dasar seperti rasa dan nilai gizi.
Menurut laporan Tempo yang dikutip Deni Asmayadi (2024) dalam artikel jurnal “Pengaruh Media Sosial terhadap Budaya Konsumsi Kuliner di Kalangan PNS Muda di Kota Besar”, pengeluaran terbesar kelas menengah Indonesia ada pada sektor pangan, yaitu sebesar 41,7%. Salah satu penyebabnya adalah pergeseran perilaku konsumsi, dimana masyarakat kini lebih sering makan di luar ketimbang memasak sendiri di rumah.
Fenomena ini diperkuat oleh hasil penelitian Klassen et al. (dalam Asmayadi, 2024) yang menyatakan bahwa media sosial memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku konsumsi makanan, terutama di kalangan dewasa muda. Paparan konten digital terkait makanan dapat membentuk kebiasaan dan pola makan seseorang.
“Kadang saya ikut-ikutan ke tempat makan yang lagi tren hanya untuk berfoto, walaupun makanannya tidak sesuai selera saya,” ungkap Ghazi, mahasiswa Universitas Andalas.
Meski begitu, tidak semua anak muda larut dalam arus tren digital. Masih banyak yang lebih mempertimbangkan kualitas rasa, kenyamanan, hingga fungsi praktis saat memilih tempat makan.
“Kalau saya tergantung kebutuhan. Kalau mau ngobrol lama atau kerja tugas, saya pilih kafe yang nyaman. Tapi kalau cuma mau makan cepat, saya lebih pilih di pinggir jalan,” kata Afifah, mahasiswi Institut Teknologi Sumatera. Pada akhirnya, pilihan kembali kepada masing-masing individu.(*)
Referensi:
Asmayadi, D. (2024). Pengaruh Media Sosial terhadap Budaya Konsumsi Kuliner di Kalangan PNS Muda di Kota Besar. Jurnal Pekommas, 9(2), 283-294. https://jkd.komdigi.go.id/index.php/pekommas/article/view/5822/2081)











