Ramuan Sakti RPJMD Sumatera Barat

EkspresNews.com – Untuk melihat arah dan rencana implementasi pembangunan sebuah daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) adalah dokumen saktinya. Pemikiran progresif kepala deerah sudah tertuang, berikut dengan kajian strategis serta fakta dan data yang memperkuat justifikasinya. Begitupula dengan Provinsi Sumatera Barat, melalui Peratuan Daerah Nomor 6 Tahun 2016 ,telah ditetapkan arah pembangunan untuk jangka menengah dari tahun 2016 hingga 2021 nantinya. Saat ini semua orang sudah dapat membaca dan mengetahui kemana haluan besar ini diarahkan oleh kepala daerah dan jajarannya, serta apakah ada “pulau-pulau strategis atau titik potensi terbaik” yang luput dari  “radar pelayaran” pembangunannya? untuk kembali diingatkan bersama.

045610400_1494408974-800px-Aokigahara_forest_03Salah satu rencana prioritas pembangunan yang akan dituntaskan oleh Pemerintah Sumatera Barat hingga tahun 2021 adalah penurunan tingkat kemiskinanan dan pengurangan serta penanganan daerah tertinggal. Bersumber dari cita besar Negara Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, langkah strategis tersebut patut diapresiasi dan didukung, khususnya dalam usulan metode implementasi yang paling relevan sesuai kebutuhan hingga tujuan bersama tersebut benar-benar tercapai.

Dalam rangka menemukan titik relevansi itudapat dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan potensi, temasuk juga potensi sumber daya alam, secara hukum, berkeadilan dan terjaminnya keberlanjutan. Merujuk pada tiga kategorisasi pemanfaatan potensi diatas, salah satu pilihannya adalah pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Terlebih Sumatera Barat termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah kawasan hutan yang besar. Tercatat seluas 2.300.058 Hektar atau sekitar 57 % dari total keseluruhan wilayah provinsi ini adalah kawasan hutan.

Menyusuri kategorisasi pemanfaatan diatas, salah satu terobosan besar pemerintahan nasional saat ini adalah percepatan akses masyarakat dalam pemanfaatan hutan. Melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, pemerintah mencoba memfasilitasi akses kelola masyarakat dengan memberikan basis legal (secara hukum) agar masyarakat bisa memanfaatkan hutan sesuai dengan keberadaan fungsinya.

Sebagai turunan dari pemanfaatan sumber daya hutan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang perubahan PP 6 Tahun 2007.Dengan beberapa dasar tersebut secara hukum, dapat dibenarkan masyarakat memanfaatkan hutan pada fungsi lindung dan produksi, disertai dengan hak dan kewajiban dalam masa waktu yang ditentukan oleh pemberi hak serta izin pemanfaatan hutan yang dilaksanakan. Khususnya bagi program perhutanan sosial pemberian akses legal dalam pemanfaatan hutan kepada masyarakat memang ditujukan untuk menciptakan peningkatan kesejahteraaan masyarakat sekitar dan dalam hutan, yang selama ini terhalang oleh peraturan dan kebijakan yang cenderung melarang dan memenjarakan masyarakat.

Dari perspektif ini dapat dikongkritkan sebagai  jalan hukum dari kebijakan nasional yang bertepatan dengan tujuan pemerintah Sumatera Barat terkait strategi pengentasan kemiskinan. Khususnya Misi ke-4 RPJMD Sumatera Barat untuk meningkatkan ekonomi masyarakat berbasis kerakyatan yang tangguh, produktif, dan berdaya saing regional dan global dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pembangunan daerah. Apalagi berdasarkan data BPS Tahun 2017, disampaikan terdapat sekitar 68,9 % penduduk miskin tinggal di daerah pedesaan yang dindikasikan berada di dalam dan sekitar kawasan hutan (Budget Brief:Perkumpulan Qbar.2018 hlm 1). Selanjutnya pada Bab II RPJMD terkait gambaran umum kondisi daerah, berdasarkan laporan usaha tahun 2015 sektor perekonomian Sumatera Barat didominasi tiga besar usaha yaitu, pertanian, kehutanan dan perikanan, yang juga sangat relevan dalam konteks kehutanan ini untuk dikembangkan.

Selanjutnya menelisik dari perspektif keadilan dan pemanfaatannya, hutan dipandang sebagai salah satu objek agraria yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang harus dijaga oleh seluruh komponen Bangsa Indonesia. Seperti yang pernah disampaikan M.T Felix Sitorus dalam buku Moh Shohibuddin: Perspektif Agraria Kritis tahun 2018. Kehutanan sebagai salah satu bentuk sumber-sumber agraria, yang berartikan kesatuan flora dan fauna dalam suatu wilayah di luar kategori tanah pertanian yang merupakan modal alami utama bagi komunitas-komunitas perhutanan yang hidup dari pemanfaatan hasil hutan menurut kearifan tradisional. Contoh spesifiknya bagi masyarakat Minangkabau hutan sudah sangat akrab sebagai ulayat yang dijaga dan terikat secara historis turun temurun.

Dari sumber-sumber agraria diatas, maka terbentuklah relasi agraria, yang berkaitan dengan aktivitas kerja manusia yang ditujukan terhadap objek agraria itu sendiri (relasi teknis agraria), serta interaksi diantara subjek-subjek agraria lainnya, dengan unsur-unsur kerjasama maupun persaiangan didalamnya, termasuk pemerintahan, masyarakat/komunitas, serta swasta (relasi sosial agraria).

Semua interaksi sosial agraria inilah, yang seharusnya dibangun secara berkeadilan sebagai kategorisasi kedua.Secara khusus memperhatikan keberadaan masyarakat sebagai objek yang sering dilemahkan dari segi relasi teknis agraria, akibat tidak terbendungnya salah satu kekuatan “modal” dan pengaruh subjek agraria lainnya. Sehingga pemberian akses pemanfaatan hutan yang berkeadilan kepada masyarakat, penting sekali dilakukan.Secara tegas dalam perencanaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial untuk Provinsi Sumatera Barat sudah dialokasikan hutan seluas 610.688 Hektar untuk dikelolabersama masyarakat. Akses menuju keadilan tersebut sudah dibuka,namun masih diperlukan upaya-upaya dilevel daerah untuk mempercepatannya.

Salah satu terobosan yang dinilai cukup progresif di Sumatera Barat dewasa ini adalah,  ditetapkanya Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 52 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Fasilitasi Perhutanan Sosial. Namun keberadaan peraturan yang baru 5 (lima) bulan lahir tersebut, belum secara penuh terdiseminasikan.Peluang kongkrit yang diaturPergub tersebutdiantaranya adalah pada pasal 18, tentangperan perangkat daerah terkait. Sebanyak 15 Organisasi Perangkat Daerah yang memiliki keterkaitan wilayah kerja dengan ekosistem hutan dan lahan serta pemberdayaan masyarakat diharapkan membangun sinergi dan integrasi program kerja dalam mendukung perhutanan sosial.

Dengan harapan, fasilitasi program dan anggaran yang diberkan dapat menumbuhkan aktifitas pengelolaan potensi hutan (sesuai fungsinya) secara maksimal oleh kelompok masyarakat di Nagari, seperti pemuda, kelompok perempuan, kelompok wisata, dan kelompok lainnya sehingga menjadi nilai tambah secara ekonomi. Sinergisitas seluruh komponen pemerintahan daerah di Provinsi Sumatera Barat melalui perhutanan sosial ini akan mencerminkan percepatan implementasi RPJMD Sumatera Barat khususnya untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran. Sebut saja potensi kopi, aren, bambu, rotan, dan pemanfaatan ekowisata dan budaya yang bisa sukses dikelola. Terobosan sinergi kerja untuk mempercepat pengembangan perhutanan sosial sangatlah diperlukan, agar potensi sumber daya hutan dan sasaran pemberdayaan masyarakat, untuk terlepas dari jurang kemiskinan dapat dijawab.

Terobosan lain yang bisa dilakukan adalah melalui pemanfaatan bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah provinsi kepada Kabupaten/Kota maupun kepada Nagari/Desa melalui dukungan insentif penjagaan hutan. Bantuan keuangan yang berdasar pada aspek ekologis ini menjadi kebutuhan untuk sedianya mengamankan kondisi hutan Sumatera Barat dari ancaman degradasi dan deforestasi. Kepada Kab/Kota, Nagari/Desa yang memiliki beban penjagaan hutan yang besar, serta banyaknya kelompok perhutanan sosial yang sudah diberikan hak oleh menteri dalam lingkup Kab/Kota tertentu, sangatlah patut untuk didukung oleh pemerintah provinsi.

Apalagi kecenderungan besaran bantuan keuangan dalam APBD Provinsi Sumatera Barat terus meningkat. Tahun 2017 misalnya berjumlah Rp. 108.850.390.750,- (108 Milyar) dan Tahun 2018 berjumlah Rp. 153.412.212.000,- (153 Milyar).  Disamping itu beberapa faktor pemungkinannya sudah dinyatakan dalam dokumen perencanaan sakti RPJMD Sumatera Barat, khususnya untuk lingkungan hidup dan penanggulangan bencana sebagai prioritas pembangunan daerah, serta misi ke-5 pembangunan dalam RPJMD yaitu pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, yang bisa menjawab isu strategis RPJMD dibidang pengelolaan lingkungan hidup, adanya degradasi fungsi hutan, penurunan kawasan hutan akibat pembangunan, lahan kritis, kerusakan daerah aliran sungai di Sumatera Barat. Kedepan peluang bantuan keuangan berbasis ekologis inipun dinilai strategis untuk dilaksanakan.

Oleh karena itu menjadikan perhutanan sosial sebagai instrumen mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan sangat tepat digalakkan sesuai dengan RPJMD Sumatera Barat. Khususnya dengan memanfaatkan sumber daya hutan sebagai suatu potensi secara hukum, yang berkadilan dan lestari berkelanjutan. Dibutuhkan sinergi bersama, semua subjek agraria, melahirkan terobosan progresif ibarat ramuan sakti dari beberapa pilihan kebijakan yang dilahirkan untuk impelmentasi RPJMD. Agar RPJMD menjadi dokumenyang benar-benar sakti menyasar “penyakit” kemiskinan, pengangguran dan merosotnya kelestarian lingkungan hidup yang sering mengundang bencana.

Penulis : Agita Fernanda – Peneliti Perkumpulan Qbar Padang

 

 

 

This will close in 8 seconds