EkspresNews.com – Pasca reformasi 98, kran kebebasan pers kian terbuka lebar diringi dengan mewabahnya bisnis pers, yang membuat beberapa kalangan gembira sekaligus was-was, muncul kekhawatiran pers menjadi anarkis, trial by the press. Selain itu, pers banyak dijadikan alat untuk ajang balas dendam, menyerang dengan modus membangun pembusukan terhadap lawan politik atau memprovokasi pihak lain. Kode etik sebagai rambu-rambu yang tak boleh dilanggar, sering dilabrak demi kepentingan yang bukan kepentingan publik.
“Uji Kompetensi Wartawan (UKW) atau penerapan standar kompetensi wartawan ini lahir selain tuntutan profesi juga karena gugatan masyarakat. Psca-reformasi 98 publik banyak yang kecewa dengan kinerja pers yang terkesan seakan bukan lagi berpihak pada kepentingan masyarakat secara luas. Karena itu, publik juga ingin sekali pers berobah maka dari itulah semenjak 2006 diberlakukan penerapan standar kompetensi wartawan,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo, Priyambodo RH dalam sebuah wawancara dengan Indonesia Raya, Kamis (7/12) siang, di Pangeran City.
Lebih jauh Priyambodo RH menjelaskan, standar kompetensi wartawan ini sangat diperlukan untuk melindungi kepentingan public dan hak pribadi masyarakat. Standar kompetensi wartawan ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga Negara untuk menjadi wartawan. “Siapa pun berhak untuk menjadi wartawan, tapi tentu harus melalui uji kompetensi wartawan,” jelas Priyambodo RH yang pernah menjabat sebagai Kepala LKBN ANTARA Biro Eropa di Lisabon Portugal ini.
Pak Pri, begitu Direktur Eksekutif LPDS itu akrab disapa, mengatakan bahwa penerapan standar kompetensi wartawan (Uji Kompetensi Wartawan) ini berkaitan dengan kemampuan intelektual dan pengetahuan wartawan, karena wartawan itu adalah pekerja intelektual. Di dalam kompetensi wartawan, kata Pri yang tercatat sebagai salah satu Tim perumus Piagam Palembang 2010 kian serius, melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.
“Kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa. Dan, itu juga menyangkut kemahiran melakukannya, seperti juga kemampuan yang bersifat teknis sebagai wartawan professional, yaitu mencari, memperoleh, menyimpang, memiliki, mengolah, serta membuat dan menyiarkan berita,” papar Pak Pri.
Dikatakan Pak Pri, untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan harus mengikuti ujian kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang telah diverifikasi dewan pers, yaitu perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan jurnalistik. “Wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi wartawan dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi wartawan ini,” ujar Direktur Eksekutif LPDS Dr Soetomo Priyambodo RH mengakhiri wawancaranya dengan Indonesia Raya. (Harianof)