EkspresNews.com – Perkumpulan Qbar bersama Impartial Mediator Network (IMN) yang memiliki fokus terhadap isu-isu berkaitan sumber daya alam mengadakan “Ngopi Sore” bertajuk Dinamika Konflik Sumber Daya Alam Sumatera Barat, Rabu (20/12/2017) di Padang.
Pegiat Perkumpulan Qbar, Mora Dingin, menjelaskan dari catatan Komnas HAM Sumbar sepanjang tahun 2017 terdapat 13 kasus konflik sumber daya alam diberbagai sektor. “Dalam pengamatan dan analisis Perkumpulan Qbar sepanjang tahun 2017 di Sumatera Barat terdapat 27 kasus konflik sumber daya alam dengan luas 14.352 ha yang melibatkan 151.507 jiwa,” terangnya dalam kegiatan “Ngopi Sore”.
Isu-isu konflik yang dominan terjadi, dikatakan Mora seperti Hak Ulayat, Ganti Rugi Lahan, Alih Fungsi Lahan, Bagi Hasil, dan Ruang Kelola. “Penyelesaian konflik tersebut berdasarkan publikasi dalam tahun 2017 cenderung dengan menempuh jalur litigasi. Memang kita tidak menafikan lagi, bahwa aktor yang terlibat adalah masyarakat, pemerintah, dan perusahaan,” jelas Mora.
Mora dalam paparanya, Qbar merekomendasikan pemerintah harus memperkuat kebijakan yang membuka ruang untuk mendorong penyelesaian konflik sumber daya alam melalui jalur alternatif seperti mediasi. Lebih lanjut, bisa dilakukan dengan memperkuat kebijakan dan pelaksanaan yang menguatkan hak ulayat masyarakat.
“Misalnya Perda TUP, Perda Peran Serta Masyarakat Dalam Perlindungan Hutan, Pengakuan Hukum Adat sebagai Hutan Adat. Serta perlu perlindungan keberadaan hutan Sumbar dari serbuan investasi dan perlu pendekatan pembangunan kehutanan yang berorientasi kepada masyarakat,” tambah Mora.
Selain itu, rekomendasi Qbar untuk menyelesaikan konflik sumber daya alam yaitu dengan sinkronisasi atau harmonisasi kebijakan dan pemanfaatan ruang akses kelola masyarakat terdapat sumber daya alam yang telah diberikan oleh negara sebagai salah satu langkah menekan laju konflik sumber daya alam.
Direktur Eksekutif IMN Ahmad Djajali menyebutkan Sumatera Barat, dalam catatannya memiliki 7 konflik kehutanan. “Namun, sepanjang tahun ini secara nasional kami baru bisa menyelesaikan 17 kasus dari 200 lebih laporan yang masuk,” ujarnya.
Pada dasarnya, dikatakan Zazali, proses penyelesaian kasus konflik sumber daya alam yang digunakan oleh IMN adalah mediasi. “Kami menilai jika dilaksanakan penyelesaian konflik dengan jalur hukum, menurut kami cukup lama karena ada proses banding kasasi hingga ke MK,” ungkapnya.
Sementara itu, Prof Afrisal mengatakan dari seluruh sektor konflik yang paling sulit diselesaikan adalah persoalan tambang. “Sektor pertambangan, menurutnya posisinya kokoh dan tidak rentan. Lalu, kita harus menyikapi konflik-konflik agraria ini dengan lembaga-lembaga atau komunitas yang terbelah. Sehingga pendampingan atas konflik menjadi tantangan bagi komunitas ini,” terangnya.
Lebih lanjut, Pakar Sosiologi FiSIP Universitas Andalas ini juga menyebutkan bahwa lembaga internasional menganggap isu terkait tambang tidak menarik jika dibanding isu hutan dan sawit.
(A.M)