NTT, EkspresNews.com – Menanggapi Pemberitaan di Media Pos Kupang Tanggal 26 April 2021, Dengan Judul Tanah Malasera Kembali Menjadi Tanah Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo. Berita tersebut sudah pasti menjadi berita gembira bagi semua masyarakat Kabupaten Nagekeo tanpa terkecuali. Lalu muncul pertanyaan jika sudah menjadi milik Pemerintah Daerah kira-kira mau diapakan aset tersebut. Yang bisa menjawab pertanyaan ini hanya DPRD Kab. Nagekeo dan Pemerintah Daerah itu sendiri. Jika berkenan saya akan membantu menjawab pertanyaan tersebut sekaligus solusinya.
Hemat sayq Pemeliharaan Daerah Kab. Nagekeo segera teken kesepakatan baru dgn koperasi di Kab. Nagekeo. Pertama, KUD Mbay, kedua, KUD Pelipedha Boawae. Jika ada KUD bagus lainnya di Nagekeo, tambahkan saja! Konsorsium dari badan usaha mikro ini mengambil posisi pengembang. Konsorsium ini segera ke bank, dapatkan modal. BRI, BNI, Bank NTT, BTN, dan lain-lain bisa jadi andalan. Jika butuh keputusan dari pusat utk bank-bank itu, org macam Bapa Primus Dorimulu Bapa Abraham Runga Mali bisa membantu. Kedua org ini hot line dgn para Direktur Utama Bank yg ada.
Nah, dari sisi investasi apakah bank mau kasi kredit ke Koperasi Unit Desa (KUD)? Saya pastikan mau, Sederhana alasannya: Tanah perumnas, bangunan rumah, tagihan/pembayaran dari PNS sebagai pembeli dijadikan underlying aset sekaligus colateral bagi Bank. Underling aset adalah aset KUD yg dikelolahnya, ya, macam tanah dan tagihan dari PNS. Colateral adalah aset juga yg dijaminkan ke Bank. Jika proyek gagal, colateral bisa disita Bank, tetapi underlying aset seperti tagihan dari PNS tidak bisa diambil alih Bank. Underlying aset berupa setoran PNS dalam akuntansi developer adalah arus kas lancar (aset lancar). Maka, kelihatan hampir sama, tetapi underlying aset dan Begitu ada modal dari Bank, pertama: Konsorsium KUD segera bangun Perumnas. Kedua: Bayar uang tanah ke Pemda. Teknis membangun perumnas, bisa disub-kontrak ke pihak ketiga. Atau, berdayakan tukang-tukang batu/kayu Se Nagekeo. Arsitek? Bayar arsitek pengalaman, atau manfaatkan PNS yg disekolahkan ke jenjang S2 teknik oleh Pemda. Skema ini harus dijalankan oleh KUD, karena skema serupa juga pasti dijalankan pengembang PIM itu. Aktivitas bisnis properti di mana mana, ya, tidak kemana-mana, berputar-putar pada skema di atas.
Namun ada bedanya. PIM yg korporasi itu otomatis mengejar laba sebesar-besarnya. Mereka mewajiban PNS sebgai pembeli siaga membayar uang muka, uang tanda jadi, dan lainnya Uang-uang itu dibayar di muka. Bangunan fisik perumnas belum ada, tapi uang mulai masuk kantong PIM. Ini kerja korporasi properti di jakarta dan di mana-mana. Uang muka (down payment/DP), besaran wajarnya 30% dari harga rumah. Korporasi yg kapitalis itu menggunakan uang muka sbgai modal kerja, selain kredit dari Bank. Uang ini juga otomatis meringankan beban developer karena biaya dana (cost of fund) dari Bank jadi ringan. Bahkan, dalam banyak kasus, developer nakal membawa kabur uang DP. Pembeli macam PNS k’epo ae, dalam bahasa daerah Nagekeo yang arrtinya gigit jari.
Konsorsium KUD harus beda. Orientasinya bukan laba, tetapi pemberdayaan (empowering). Laba ada, tapi sedikit. Maka, lenyapkan saja uang muka, uang tanda jadi, dan lain-lain dari PNS! Pastikan saja, setelah perumnas separo jadi, PNS mulai menyetor bulanan. Setoran bulanan PNS berdasrkan kesepakatan harga rumah yg wajar (NJOP). Total harga dibagi jangka waktu, dapat rata-rata setoran bulanan. Misalnya, ada PNS ambil jatah 15 tahun. Total harga dibagi total bulan (12 bulan kali 15 tahun).
Akhh, ada keraguan apakah KUD profesional?? Harus berdayakan mereka! Pemerintah “intervensi”. Caranya? Segera restrukturisasi KUD Mbay, dan lain – lain, benahi manajemen, suntik modal (alokasi APBD) sekian persen utk KUD. APBD harus dianggap sebagai pinjaman yg wajib dikembalikan. Jika skema ini dijalankan, Pemda. sudah punya konsep “out of the box.”
(Klemens Ame, SH – Praktisi Hukum Asal Nagekeo Tinggal di Jakarta)