PADANG, EKSPRESNEWS.COM – Polemik ini tidak akan habis sampai rumah sakit Semen Padang Hospital (SPH) kembali menyelesaikan persoalan layanan jantung yang dicover oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Lantas, apa kendala SPH tak mau mengurus BPJS untuk layanan tersebut ?
Memang pada tahun 2019 SPH menerima surat hasil audit internal BPJS Kesehatan dimana pada saat itu, SPH telah melakukan upcoding yang menyebabkan markup pada klaim layanan jantung. Kerugian yang ditimbulkan mencapai angka 7,4 miliar lebih. Lantas, pada saat itu seluruh layanan BPJS di SPH dihentikan.
Namun seiring berjalan waktu, layanan BPJS kembali bisa diakses oleh masyarakat di SPH untuk berobat. Akan tetapi muncul persoalan karena untuk layanan jantung (cathlab) tidak/belum bisa dicover oleh BPJS. Kuat diduga hal tersebut ditenggarai karena pihak SPH tidak mau menyelesaikan administrasi yang disyaratkan oleh BPJS sehingga layanan cathlab untuk pasien BPJS hingga saat ini terhenti di rumah sakit yang berlokasi di kawasan Bypass Padang.
Sungguh ironis memang, sumber Indonesia Raya menyebutkan bahwa persyaratan BPJS untuk SPH dalam hal pelayanan medis jantung (Cathlab) tersangkut pada aturan yang tertuang didalam UU Ciptakerja yang baru. Kata sumber tersebut, pihak manajemen dan yayasan tidak dapat berbuat banyak karena aturan didalam UU Ciptakerja yang membatasi.
Akan tetapi, setelah ditelusuri UU Ciptakerja, tidak ada satupun pasal maupun ayat didalamnya yang melarang atau membatasi SPH mengurus kembali layanan cathlab untuk pasien BPJS. Saat ini semua akses informasi terbuka dengan lebar, sehingga rasanya cukup pelik jika SPH membuat tameng dari UU yang dilahirkan oleh pemerintah bersama DPR RI, pada dasarnya UU tersebut harusnya mempermudah semua persoalan, terkhusus soal Ciptakerja.
Masih berbekas didalam ingatan pembaca, bahwa Ketua Yayasan Semen Padang saat terjadinya “fraud”, Ampri Setyawan, 11 Juli 2022, yang mengatakan bahwa hasil audit BPJS itu memang terjadi seperti yang diberitakan. Pada dasarnya, hal tersebut membuat SPH rugi atau gagal klaim. Dan pengakuan tersebut merupakan bukti nyata telah terjadi kecurangan klaim, uang BPJS itu berasal dari uang masyarakat, sehingga bisa terindikasi tindak pidana korupsi.
Hanya saja, sampai saat ini, nyaris setiap minggu, Indonesia Raya mendapatkan pesan dari pasien lama ataupun masyarakat pada umumnya mempertanyakan sampai kapan SPH tidak mau mengurus layanan cathlab untuk pasien BPJS ?
Indonesia Raya hanya sebatas memberitakan dan melakukan upaya konfirmasi kepada SPH. Walau pihak SPH hanya menjawab secara formalitas semata, tapi setidaknya hak publik untuk mengetahui apa yang menjadi dasar persoalan bisa terpenuhi. Mungkin saja Indonesia Raya tidak tampak oleh SPH karena tidak sebesar media yang ditakutinya, yaitu TEMPO. (Abdi)