Opini  

Opini : Malapetaka Kurang Sosialisasi Peraturan BPOM

EKSPRESNEWS – Peraturan BPOM nomor 14 tahun 2024 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan secara Daring jelas mengatakan pada pasal 21 ayat 2 bahwa sanksi yang didapatkan oleh pelanggaran adalah sanksi administratif berupa peringatan, peringatan keras, larangan mengedarkan untuk sementara waktu; dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat dan makanan.

Namun, agaknya pihak BPOM pun tak semuanya mengetahui aturan tersebut kendati pelaksana dari BPOM adalah bidang penindakan.

Hal tersebut terlihat dalam sidang pra peradilan kasus tersangka Usi Gomes yang menjual produk jamu jenis pil pelangsing baru-baru ini. Saat sidang terlihat raut wajah tercengang dari Tim Biro Hukum BPOM dari Jakarta. Seperti tidak mengetahui adanya Peraturan itu.

Malapetaka terjadi saat BPOM menetapkan secara mendadak sipenjual jamu tanpa izin edar sebagai tersangka dalam 1 hari proses pemeriksaan. UMKM menjadi sasaran tembak bagi penjagal yang tak mengetahui aturan internalnya. Ironis memang.

Prahara tak sampai disana saja, akibat aturan yang diduga tak diketahui oleh penindak menyebabkan kerugian materil maupun inmateril bagi sipenjual jamu ini. Padahal hak mencari hidup di negara ini terbuka bebas akhirnya terbelenggu oleh oknum penindak yang tak mengerti aturan sendiri.

Ditambah dengan polarisasi pemahaman dengan kata “penindakan” yang notabene berlindung dibalik tupoksi PPNS yang berkoordinasi dengan aparat kepolisian. Padahal bagi aparat kepolisian, untuk penetapan tersangka membutuhkan waktu, sedangkan sipenjual jamu hanya butuh beberapa jam saja hingga ditetapkan sebagai tersangka.

Beruntung negara ini masih ada upaya hukum awal, yaitu praperadilan yang menguji keabsahan administrasi penetapan tersangka sipenjual jamu. Kasihan memang, pelaku UMKM sebagai pedagang kecil harus berhenti berjualan akibat kelalaian sipenindak yang main sita.

Jika BPOM menyebutkan punya media sebagai wadah informasi untuk sosialisasi, nyatanya pengikut media sosialnya terbilang sedikit sehingga tidak optimal dalam penyampaian edukasi. BPOM sebagai badan negara wajarnya memiliki anggaran sosialisasi cukup besar, tapi apakah optimal ?

Sudah menjadi tugas penting pemerintahan Prabowo-Gibran untuk berbenah termasuk BPOM. Sebab cerminan pemerintah adalah kinerja dan kerja dari lembaga serta badan negara sebagai perpanjangan tangan kebijakan presiden dan wapres.

Kita harapkan tidak ada polarisasi pemahaman yang merugikan masyarakat ditataran bawah. Agaknya ini menjadi tugas bersama, tidak hanya BPOM, tapi secara menyeluruh. Semoga. (Abdi)