OPINI : Kejaksaan Harus Melakukan Penyelidikan dan Penyidikan

Pemberantasan kejahatan pajak mengalami pasang surut. Ada kesan Pemerintahan Joko Widodo masih setengah hati ?

EkspresNews.com – Alcapone, Mantan Pimpinan Mafia Amerika, memang sulit untuk dijamah hukum. Karena itu, ia disebut-sebut The Untouchable Man, orang yang tak tersentuh hukum. Sekalipun begitu, Jaksa Agung Amerika tak mau kalah dengan penjahat, karena mereka berpijak pada teori criminal No Crime Is Perfect, tidak ada kejahatan yang sempurna. Artinya, setiap kejahatan pasti meninggalkan bekas. Persoalannya, terletak antara kemauan dan kemampuan para penjaga hukum. Kadangkala kemampuan ada tapi kemauan tidak ada, sebaliknya kemauan ada tapi kemampuan tidak ada. Tapi, bagi Jaksa Agung Amerika mereka memiliki kedua-duanya, kemauan dan kemampuan. Buktinya, bekas kejahatan Alcapone dapat ditelisik melalui kejahatan pajak. Alcapone tak berdaya pada saat Jaksa Agung Amerika menangkapnya dengan tuduhan melakukan kejahatan pajak. Dedengkot Mafia itu pun digiring ke balik jeruji besi, sekalipun ia masih bisa mengendalikan roda organisasi dari balik terali besi seperti apa yang dikatakannya, Though I Die To Die, Mafia Will Never Die, walaupun saya mati hari ini mafia tidak akan pernah mati.

Ilustrasi dari sebuah kebulatan tekad Jaksa Agung Amerika yang tidak boleh kalah dengan pengamplang pajak itu dapat dijadikan pintu masuk bagi kejaksaan kita yang konon katanya professional untuk mengungkap kejahatan-kejahatan pajak, atau pengamplang pajak yang diduga kuat bersekutu dengan oknum petugas pajak. Frankly speaking, kita agak sedikit kaget dengan temuan perpajakan berdasarkan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama BOT Revitalisasi Pertokoan Pasar Raya Barat Padang Tahun 2005-2013 pada Pemko Padang. Tak tanggung-tanggung, dalam temuan itu disebutkan bahwa pemerintah pusat kehilangan kesempatan menerima PPh pasal 4 ayat (2) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan minimal sebesar Rp3.089.410.306.55. pemerintah pusat kurang menerima PPN yang belum disetorkan oleh PT CSR sebesar Rp5.261.982.326,00. Jadi, pemerintah pusat kehilangan  PPh pasal 4 + PPN yang belum disetorkan, total sekitar Rp 8,3 Milyar lebih. Gedung SPR berpotensi disita apabila PT CSR tidak melunasi tunggakan pajaknya.

Dalam hening di penghujung malam yang menggigit, kita bertanya dalam diam, faktor apa yang menyebabkan pemerintah bisa kehilangan kesempatan penerimaan PPh pasal 4 dan kurangnya penerimaan PPN yang belum dibayarkan oleh PT CSR sebagai pengelola SPR ? Logika publik melihat hilangnya kesempatan pemerintah menerima PPh pasal 4 dan kurangnya PPN yang diterima pemerintah karena belum disetor oleh PT CSR tak terlepas dari dugaan praktek kongkalingkong antara wajib pajak dengan petugas pajak. Secara logika sederhana, PPh pasal 4 atau yang popular disebut pajak final dengan nilai 4 % dari harga keseluruhan bangunan, yang ditentukan ketika meminta izin di tata ruang. IMB keluar, berarti pajak terutang langsung atau dibayar langsung. Cuma saja, yang menjadi pertanyaan kita, dinas tata ruang bermain ndak dalam menentukan angka-angka ?

Yang kita tidak habis pikir, kurangnya penerimaan PPN yang diterima pemerintah pusat karena belum disetor oleh PT CSR sebesar Rp 5,2 Milyar lebih, memang agak aneh. PPN yang bahasa rakyatnya adalah “ PAJAK PENJUALAN “ harus disetorkan setiap ada penjualan. Pertanyaannya sekarang, kenapa PT CSR tidak menyetorkan padahal penjualan sudah terjadi ? Bisa jadi, petugas pajak kita yang professional lalai. Bisa jadi juga, ada permainan antara wajib pajak dengan petugas pajak. Ini yang harus diungkap ke permukaan. Seharusnya jaksa melakukan penyidikan karena dasarnya sudah ada temuan BPK RI yang merugikan keuangan negara. Pengemplangan pajak adalah tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, sekali lagi, kita minta pihak kejaksaan segera melakukan penyelidikan dan penyidikan agar terungkap mengapa sampai terjadi penunggakan pajak PPN sebesar Rp 5,2 Milyar lebih, dan kehilangan kesempatan penerimaan PPh pasal 4 alias pajak final yang tidak disetorkan sebesar Rp 3 Milyar lebih. Apakah ada kerja sama antara oknum pajak dengan PT CSR ? Tidak tertutupkemungkinan adanya indikasi keterlibatan oknum pemerintah dan oknum pajak. Padahal, sekali lagi, PPN harus disetorkan setiap penjualan.

That’s why, wajar bila ada yang mempertanyakan kinerja kantor Pajak. Pasalnya, kantor pajak berwenang melakukan pengawasan dan penagihan. Harusnya, jika ada PPN yang belum disetorkan dan PPh pasal 4 kantor pajak harus mengambil tindakan tegas. Kantor Pajak dalam rangka pengawasan, berwenang melakukan penegakan hukum seperti menyita, menahan wajib pajak. Pertanyaannya lagi, ada apa antara PT Cahaya Sumbar Raya (PT CSR) dengan oknum kantor pajak kok sampai luput dari pengawasan pajak ? Jawabnya, kata Ebit G. Ade, jangan Tanya pada rumput yang bergoyang.

Berdasarkan temuan BPK itu, kantor pajak berkewajiban untuk melakukan penagihan terhadap PT Cahaya Sumbar Raya (PT CSR). Kalau tidak dilakukan, tentu oknum pajaik bisa dikenakan UU Tindak Pidana Korupsi khususnya tentang penyalahgunaan wewenang. Tapi, yang terpenting sekali, agar ke depan tidak terjadi lagi hilangnya kesempatan pemerintah dalam penerimaan PPh pasal 4 dan berkurangnya penerimaan PPN, DPRD harus mempunyai staf ahli di bidang perpajakan. Dinas Tata Ruang bagaimanapun harus transparan. artinya, setiap pembangunan harus ada Plang Merek tentang IMB, Nilai Bangunan, Pajaknya 4% dari nilai seluruh bangunan. Ini harus tertulis di Plang IMB agar anggota DPRD dapat mengetahui. Tapi yang lebih penting lagi, kejaksaan harus segera melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagai tindaklanjut dari temuan perpajakan berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI.

(Harianof)

 

 

 

This will close in 8 seconds