EkspresNews.com – Pembahasan rancangan peraturan daerah (Perda) Kota Bukittinggi nomor 06 tahun 2011 tentang Tata Ruang Kota yang berkaitan dengan fungsi dan peruntukan ruang disekitar kawasan daerah aliran sungai (DAS) Tambuo, mendapat reaksi. Bahkan Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Yusra Adek, menyatakan ketidaksetujuannya atas pengalihan kawasan terminal di Tambuo itu menjadi kawasan pertokoan dan perdagangan. Ia menilai, Perda itu nanti akan menyengsarakan masyarakat.
“Masyarakat Kota Bukittinggi, akan miskin bila revisi Perda 06 itu disahkan, khususnya yang menyangkut peralihan fungsi kawasan terminal yang akan dijadikan kawasan Pertokoan dan Perdagangan,” tutur Yusra Adek.
Artinya, lebih lanjut dikatakan Yusra Adek, kalau yang membangun pusat pertokoan itu warga kota Bukittinggi, tidak masalah dan kita mendukung. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ada warga kota Bukittinggi yang saat ini tengah giatnya melakukan transaksi pembebasan lahan masyarakat, kemudian menjualnya kepada investor. “Investor yang akan membangun pusat pertokoan itu sendiri,” urai politikus Partai Golkar Bukittinggi itu, justru mereka yang melakukan reklamasi Kepulauan Seribu-Jakarta. Disinilah persoalannya.
Dalam rentang waktu dua bulan pembahasan Ranperda 06 itu di DPRD Kota Bukittinggi, Yusra Adek mengaku belum angkat bicara. “Tapi bila tiba saatnya, akan saya bentangkan secara keseluruhan, baik untung dan kerugian yang akan dialami masyarakat,” jelasnya.
Menurutnya, kerugian itu tidak saja dialami warga kota, namun juga berdampak terhadap perekonomian masyarakat tetangga. Lahan pertanian masyarakat airnya yang bersumber dari daerah aliran sungai (DAS) Tambuo akan terganggu, itu disebabkan karena batas sepadan pada DAS Tambuo itu akan diperkecil menjadi 3 meter dari 10 meter bibir DAS sebelumnya.
Pada bagian lainnya, katanya, juga akan berpengaruh terhadap agama dan budaya daerah. Diakui memang, selama ini kota Bukittinggi terdiri dari multi etnis. Keberagaman warga kota Bukittinggi selama ini tidak memengaruhi terhadap tatanan budaya kehidupan warga, malah sebaliknya. Keberagaman itu yang menjadi perekat ketentraman warga kota. Tapi, bila pembangunan kawasan perdagangan yang dikelola investor dari luar sudah beroperasi, diyakini akan berdampak terhadap adat dan budaya daerah. Tidak saja terhadap akidah mayoritas warga. “Adat basandi syara’, dan syara’ basandikan kitabullah, sebagai tuntunan dalam kehidupan bermasyarakat terganggu. Namun tidak tertutup kemungkinan akan terjadi permutadan. Bukankah kekufuran umat terjadi karena kemiskinan?” ujar Yusra Adek balik bertanya.
Pertanyaannya, ujar Badan Kehormatan DPRD Kota Bukittinggi itu melanjutkan, kalau saja mayoritas anggota dewan menyetujui revisi pasal 35 itu menjadi kawasan perdagangan dan jasa, dengan sendirinya Pemerintah Kota juga harus menyediakan lahan penganti terminal seluas 5 Ha. Sebab, luas terminal Aur Kuning saat ini sangat tidak layak. “Masak sebuah terminal tipe A luasnya hanya 1,8 ha,” ujarnya.
Tidak hanya Yusra Adek. Ikatan Pedagang Aur Kuning, dalam pertemuan mereka Minggu malam (5/3) disebuah restoran mengaku revisi Perda 06 itu sudah terstruktur dan masif. “Sudah direncanakan secara terukur,” ujar Dt Palangkayo.
Nyiak Dt Palangkayo mencontohkan, ketika revisi 06 itu mulai dibahas Jumat 11 Januari 2017. Selang beberapa hari kemudian, atau tepatnya Senin 14/1 sudah ada jawaban walikota. “Apakah itu namanya bukan terencana?” ujarnya balik bertanya.
“Untuk itulah kami menggalang lebih 1.700 tanda tangan penolakan rencana pembangunan kawasan perdagangan dan jasa di Tambuo itu,” timpal penasehat pedagang Aur Kuning drg. Rinaldo.
Menurutnya, kalau rencana alih fungsi lahan itu terealisasi. Ia tidak bisa membayangkan akan terjadi eksodus warga secara besar-besaran ke kota Bukittinggi. Dipastikan Bukittinggi tidak akan mampu menanggung beban warga baru. Dan itu belum termasuk jumlah kendaraan yang akan memadati ruas-ruas jalan. Ia mencontohkan, kalau saja 30% kendaraan pemilik toko itu berada di kota Bukittinggi. Itu artinya akan terjadi penambahan jumlah kendaraan 500 unit lebih. “Dan kita harus melakukan antisipasi,” kata Dt. Rj Mangkuto menimpali.
Antisipasi itu, urainya, kita harus mengkaji Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) alih fungsi lahan di Tambuo tersebut. Apakah Amdalnya sudah dikantongi oleh sang investor?. Kalau sudah, kapan amdal itu disosialisasikan. Sebab ini menyangkut harkat dan keselamatan umat. Imbasnya tidak hanya kota Bukittinggi yang merasakan, juga berdampak kedaerah tetangga yang memanfaatkan DAS Tambuo sebagai sumber pengairan lahan pertanian mereka. “Di hilir ratusan hektar lahan pertanian bergantung dengan pengairan DAS Tambuo,” ungkapnya.
Pertemuan warga Bukittinggi pekan lalu itu, selain mendeklarasikan penolakan alih fungsi lahan Tamuo, sekaligus juga membentuk tim advokasi yang akan mengkaji secara mendalam revisi Ranperda 06/2011 khususnya pasal 35, baik dilihat dari kacamata hukum, agama dan budaya. “Tim itu, dalam waktu dekat akan bekerja,” ujar drg Rinaldo.
Meskipun tidak diperoleh keterangan (konfirmasi) dari ketua DPRD Kota Bukittinggi Benny Yusrial, terkait revisi Perda 06 itu. Namun Ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAK) Bukittinggi Asra Verry, menilai transaksi pembelian lahan masyarakat sudah sesuai dengan kaidah hukum. “Transaksi jual beli lahan dikawasan Tambuo itu sah dan tidak ada paksaan serta intimidasi. Masyarakat yang menjual, investor yang membeli. Pas kan?” tutur nyiak Verry.
Bahkan, katanya sosialisasi bahwa di kawasan Tambuo akan dibangun pusat pertokoan dan perdagangan, sudah umum diketahui masyarakat sebelum revisi ranperda 06 itu diajukan ke DPRD kota Bukittinggi. “Jadi apanya lagi yang salah,” urai nyiak Verry balik bertanya. (tim)