EKSPRESNEWS.COM – Starbucks menjelma menjadi gerai kopi raksasa dunia. Berdasarkan data resmi Starbucks melalui statista.com, hingga Oktober 2022 jumlah gerai resmi Starbucks di dunia sebanyak 35.711 cabang yang tersebar di 84 negara.
Pernah jatuh teramat curam, tapi itu tak mematahkan semangat manajemen Starbucks. Hasilnya, sepanjang tahun 2021 mereka meraup pendapatan hingga Rp415,6 triliun. Ini omzet yang besar mengingat saat itu dunia masih dalam kondisi pandemi COVID-19.
Sejarah mencatat mereka harus mengubah strategi agar bisa terus bertahan. Bahkan perubahan strategi tesebut membuat banyak pakar ekonomi yang menyebut Starbucks sebagai bank berkedok gerai kopi. Terlepas dari hal itu, strategi tersebut sukses mengantar mereka untuk bertahan bahkan bergerak “menguasai” pasar gerai kopi dunia.
Sejarah Starbucks
Starbucks memulai debut pertama di Seattle, Washington, tepatnya pada 30 Maret 1971. Adalah guru Bahasa Inggris, Jerry Baldwin; guru sejarah Zev Siegl; dan penulis Gordon Bowker, yang memulai usaha ini. Ketiganya memiliki sejumlah kesamaan, yakni akademisi dan sama-sama menggilai kopi dan teh. Untuk membuka gerai mereka meminjam uang demi toko pertama di Seattle.
Mereka terinspirasi usaha pemanggangan kopi Alfred Peet. Awalnya mereka hanya menjual biji kopi dan daun teh berkualitas serta peralatan yang didatangkan dari luar AS. Namanya sendiri terinspirasi nama mualim kapal, Starbuck.
Mengawali usaha, ketiganya hanya menyediakan kopi biji utuh terpanggang hingga 1976. Satu dekade kemudian, mereka pindah ke Pike Place Market di Seattle.
Saat di Seattle, Starbucks juga merintis usaha menjual kopi espresso. Nah, tahun 1980-an awal mereka membuka empat toko di Seattle. Pada tahun yang sama, Siegl meninggalkan dua mitranya, sehingga Baldwin menjabat sebagai presiden perusahaan.
Rahasia Bisnis Starbucks: Kedatangan Howard Schultz
Tak lama kemudian Howard Schultz bergabung. Nama ini nantinya populer sebagai tokoh di balik kesuksesan besar Starbucks. Meninggalkan kariernya di perusahaan manufaktur kopi asal Swedia, Hammarplast, Schultz memutuskan bergabung ke Starbucks. Ia menjadi manajer retail operations and marketing pada tahun 1982.
Tiga tahun kemudian, Schultz memutuskan mundur setelah tak dapat mengajak Baldwin dan Bowker untuk mengembangkan ide membuat kafe seperti di Italia yang menjamur.
Kemudian ia memulai rantai kopinya sendiri yang disebut Il Giornale. Usahanya sukses dan berkembang ke beberapa kota di AS. Lalu pada 1987, Schultz membeli Starbucks melalui bendera Il Giornale dari tangan Baldwin dan Bowker dengan dukungan investor.
Howard Schultz pun mengangkat diri sebagai CEO baru hingga berhasil mengepakan sayap bisnis Starbucks ke pelosok dunia.
Di tangan Schultz, Starbucks akhirnya mengembangkan gerai yang berkonsep kafe hingga mencapai 2.000 gerai. Sejak saat itu Starbucks terus melaju dengan puluhan juta pelanggan yang tersebar di berbagai negara.
Tergerus Bisnis Properti
Pada 2001, Schultz mengumumkan mundur dari jabatan CEO. Ini diikuti dengan mengurangi kegiatan operasional sehari-hari perusahaan. Sayangnya bisnis ini juga tak tahan krisis. Pada 2008, ketika negeri Paman Sam mengalami puncak krisis karena kejatuhan harga properti, bisnis Starbucks ikut terkena getahnya.
Mereka harus menutup 600 gerainya. Satu tahun berlalu, krisis ekonomi AS belum mereda dan berimbas 300 gerai lainnya harus menutup diri. Dampak lainnya, ribuan karyawan terkena PHK.
Merasa terpanggil, Howard Schultz kembali ke kursi CEO. Di tengah kondisi bisnis yang lesu, keluarlah reformasi radikal yang fundamental terhadap konsep bisnis.
Starbucks secara brilian berinovasi mengembangkan program loyalty berupa kartu Starbucks Gift Card. Kartu tersebut terkoneksi dengan aplikasi My Starbucks yang meluncur pada 2009.
Rahasia Bisnis Starbucks: Kartu Pelanggan Starbucks
Pelanggan Starbucks yang menggunakan kartu loyalty ini bakal mendapatkan poin yang bisa ditukar dengan reward tertentu. Kartu Starbucks atau aplikasi juga bisa diisi dengan deposito uang. Saldonya bisa dipakai untuk membayar pembelian produk Starbucks.
Konsep ini layaknya top-up dana di dompet digital. Bedanya, saldo di dompet digital bisa untuk membayar beragam kebutuhan dari berbagai vendor lain. Tapi kalau deposit di aplikasi dan kartu Starbucks, pelanggan hanya bisa membeli produk-produk di gerai Starbucks.
Pertanyaanya, apa untungnya untuk pelanggan?
Kalau praktiknya hanya untuk membeli produk satu merek, tentu sudah banyak merek menjalani promosi yang sama. Menariknya, program loyalty Starbucks sukses menarik pelanggan untuk bisa mendapatkan poin dan reward tertentu. Seperti diskon atau gratis kopi dan cake.
Strategi ini mungkin dijalankan juga oleh banyak bisnis lain. Tetapi bedanya, Starbucks sudah mempunyai basis pelanggan setia yang besar. Aplikasinya juga menjadi platform restoran paling populer daripada restoran lain.
Ya, Starbucks bisa melakukan hal yang tak bisa dijalani brand lain.
Pelanggan tak ragu untuk deposit banyak uang mereka ke aplikasi maupun Kartu Starbucks. Sebab, Starbucks adalah kehidupan sehari-hari mereka. Jika di Indonesia merasa membeli Starbucks harganya premium, tapi di Amerika atau di Eropa, pergi ke Starbucks adalah kegiatan rutin hampir setiap hari.
Mulai dari ngopi pagi hari sebelum berangkat kerja, meeting dengan rekan bisnis, sampai menunggu jemputan. Atau bahkan sekadar numpang WiFi untuk kerja. Ini semua sudah menjadi budaya rutin buat banyak orang di dunia.
Rahasia Bisnis Starbucks: Omset Setara Bank
Tahun 2011, 25% penjualan Starbucks ternyata masuk melalui deposit dari aplikasi dan kartu. Sepuluh tahun kemudian, pengguna program ini sudah mencapai 24 juta pelanggan di AS dan Kanada. Ini belum termasuk di negara lain.
Lebih mencengangkan lagi, 45% dari total penjualan Starbucks di kedua negara berasal dari deposit aplikasi dengan nilai top-up-nya mencapai USD10 miliar. Dengan jumlah deposit sebanyak ini, Starbucks sudah bisa beroperasi layaknya sebuah bank.
Kok bisa kayak bank? Ingat, bank itu beroperasi dengan cara menarik dana dari masyarakat lewat tabungan. Pun pinjaman untuk melakukan pembiayaam seluruh operasi bisnisnya. Misalnya, pembiayaan KPR atau menyalurkan pinjaman ke pebisnis atau pelaku usaha yang butuh dana. Nah, program di Starbucks juga beroperasi dengan cara yang mirip dengan bank. Yakni, saldo dari pelanggan mereka itu ibarat dana tabungan atau pinjaman dari masyarakat.
Tak Perlu Bayar Bunga
Namun jeniusnya mereka, sebagai lembaga penghimpun dana tak perlu membayar bunga ke pelanggannya. Perusahaan meraup dana dari top-up deposit pada pelanggannya. Para pelanggan Starbucks tanpa sadar sudah menyediakan dana pinjaman segar bebas bunga senilai miliaran USD untuk Starbucks.
Starbucks bisa memanfaatkan dana tersebut untuk investasi, biaya operasional, bahkan ekspansi bisnis. Hebatnya lagi, semua dana segar itu tanpa membayar bunga sama sekali. Mereka jenius, karena semua dana yang mengendap itu pada akhirnya bakal habis semua untuk membeli produk-produknya. Padahal kalau bank, mereka harus mengembalikan dana milik nasabahnya lengkap bersama bunganya.
Dana mengendap di Starbucks juga tak mengenal penarikan dana besaran-besaran seperti halnya bank. Sehingga mereka perlu menyiapkan alokasi cadangan. Di gerai kopi ini, uang mengendap tak bisa ditarik. Hanya bisa untuk membeli produk-produk Starbucks.
Tak heran, CEO Hana Financial Group, Yoon Jong-kyoo, menyatakan bahwa Starbucks adalah bank yang tak teregulasi. Starbucks sejak 2016 mengantongi nilai saldo mengendap selalu berada di angka lebih dari USD1 miliar (Rp15,3 triliun). Bahkan pada 2022, nilai saldo mengendapnya menembus angka USD1,723 miliar (Rp24,6 triliun).
Sekadar perbandingan, 87% bank yang ada di Amerika Serikat total asetnya tak sampai Rp24,6 triliun di tahun 2022. Ini artinya, Starbucks kalau jadi bank bakalan masuk golongan 13% bank terbesar di Amerika dari sisi aset.
Bisnis Perbankan Khawatir Tergerus
Ini baru aset mengendapnya atau dana yang memang belum terpakai oleh pelanggan. Kalau nilai top-up depositnya sendiri sempat mencapai USD10 miliar (Rp153 triliun) per tahun. Terlebih, 10% dari saldo mengendap ini ternyata tak pernah terpakai. Entah kartunya hilang atau pelanggannya lupa.
Dari sini, lagi-lagi Starbucks bisa mendapatkan USD170 juta (Rp2,6 triliun) secara cuma-cuma tiap tahun melalui deposit. Untungnya pun berlipat, sudah tak perlu bayar bunga ke nasabah, perusahaan malah dapat uang ratusan juta dolar AS secara gratis.
Jadi tak heran, model bisnis yang dijalanin Starbucks ini dianggap sebagai strategi brilian oleh banyak pakar di berbagai belahan dunia. Ini semua berkat strategi mereka menyelamatkan bisnis mereka dari masa kejatuhan ekonomi AS pada 2008. Cara ini membuat Starbucks lebih fleksibel dalam menjalankan bisnisnya karena tak perlu mengandalkan transaksi penjualan langsung.
Ini juga bisa mengurangi ketergantungan pada pinjaman bank. Bahkan mereka bisa memperoleh pendapatan pasif seiring bertumbuhnya pelanggan baru dan makin banyaknya dana mengendap yang tidak pernah terpakai oleh pelanggannya.
Walaupun demikian, sudah banyak petinggi perbankan di seluruh dunia khawatir dengan pertumbuhan saldo mengendap Starbucks. Mereka menganggap Starbucks itu adalah bank yang tak teregulasi. Para bankir bahkan memprediksi cepat atau lambat Starbucks bisa mengekspansikan bisnis mereka ke industri finansial lewat aset saldo mengendapnya. (***)