EKSPRESNEWS.COM – Baru-baru ini ada surat balasan dari Komisi Pemberantasan Korupsi kepada salah seorang Ketua DPRD di Kabupaten. Suratnya berlogo lembaga anti rasuah di jalan Kuningan, Jakarta. Meminta pelapor melengkapi bukti dan dokumen pendukung terkait korupsi yang dilaporkan.
Lalu muncul berita online. Ketua DPRD itu menyangkal bahwa isi surat KPK bukan meminta dokumen tambahan bukti yang dilaporkannya korupsi. Satu lagi, Ketua DPRD itu juga memahami bahwa yang dilaporkannya tidak terbukti melakukan korupsi.
Sebelumnya, Ketua DPRD itu menemani yang ia laporkan mendaftar sebagai salah seorang calon kepala daerah. Segurat senyum dan tawa dari ketua terlihat dibeberapa foto saat pendaftaran. “Tabayun dan sadar diri,” begitulah kira-kira ucapannya menyikapi surat KPK itu.’
Jika dirunutkan kembali, dulu waktu dia melaporkan ada dugaan tindak pidana korupsi, terjadi goncangan hebat dunia politik di daerah itu. Saling lempar statmen antara pelapor dan yang dilaporkan. Ketua DPRD seperti keukeuh dan kokoh atas temuannya (indikasi korupsi). Tapi sekarang sudah berputar dan beralih. “Tidak ada korupsi,” begitulah kira-kira ia menafsirkan surat dari KPK itu.
Jika benar, berarti sudah luntur semangat anti korupsi di negeri Ibu Pertiwi ini.
Dulu ia yang keras melaporkan ke KPK. Tapi sekarang berubah. Malah menyangkal bahwa dugaan korupsi itu tidak ada. Lantas bagaimana pertanggungjawaban uang negara yang diduga telah dikorupsi itu ? Kepada siapa lagi harus mengadukannya ?
Oke. Tentu KPK tidak bisa pula diam. Nyata dan jelas ada dugaan korupsi. Dugaan ya, ingat dugaan. Minimal adalah orang atau lembaga yang masih peduli dengan korupsi adalah bahaya laten. Sehingga hemat penulis, bisa kembali dilaporkan perkara dugaan korupsi itu oleh orang lain.
Yang penting semangat anti korupsinya terlebih dahulu.
RUU Penyiaran juga coreng semangat antikorupsi jika disahkan oleh DPR. Sebab para wartawan tidak bisa lagi melakukan investigasi terhadap indikasi-indikasi kerugian uang negara alias korupsi.
Wartawan akan berurusan dengan pihak Pengadilan untuk menyelesaikan sengketa Pers. Bukan lagi melalui Dewan Pers jika RUU ini disahkan. Sudahlah investigasi tidak boleh, wartawan jika sengketa langsung ke Pengadilan. UU 40 Tahun 1999 tentang PERS seperti sudah tidak ada artinya lagi jika RUU itu disahkan jua.
Duh, ada apa dengan negeri ini?
Benar sudah merajalela korupsi ini?
Biar waktu saja yang menjawab atau biarkan rabab yang menyampaikannya. (*)