Pengakuan pihak SPH bahwa temuan dugaan markup klaim ke BPJS Kesehatan sebesar Rp. 7,4 Miliar lebih sudah dikembalikan dengan cara memotong uang pada klaim selanjutnya adalah bukti nyata terjadinya “fraud” atau kecurangan. Berdasarkan Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 perlu penegasan sanksi pidana agar pelaku bisa jera dan kemudian perbuatan serupa tidak terulang dikemudian hari. Belum cukupkah bukti awal bagi Polri, Kejaksaan dan KPK untuk menjamah kasus ini?
PADANG, EKSPRESNEWS.COM – Ketua Yayasan Semen Padang saat terjadinya “fraud”, Ampri Setyawan mengatakan hasil audit BPJS pada waktu itu lebih kepada ketidaksesuaian klaim dengan kategori yang ditetapkan BPJS sehingga SPH rugi atau gagal klaim. “Ketika mengajukan keberatan, BPJS memutuskan hubungan dengan SPH dan SPH menerima gagal klaim tersebut sehingga tahun berikutnya BPJS mau bekerjasama lagi dengan SPH. Seingat saya itu kejadiannya,” ujar Ampri Setyawan, 11 Juli 2022 melalui pesan WA.
Ampri menambahkan, hasil audit Rp. 7,4 miliar lebih itu tidak dikembalikan melainkan dipotong oleh BPJS dari tagihan klaim berikutnya. Pengakuan “gagal klaim” tersebut menegaskan bahwa benar telah terjadi KECURANGAN atau FRAUD yang dimaksud didalam Permenkes nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) Serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (Fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan.
Hal tersebut mengundang komentar salah seorang pengacara yang tergabung dalam Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), Marselinus Edwin Hardian SH menyebutkan bahwa dengan mengembalikan uang atau kerugian tidak akan menghapus unsur pidana, karena itu prinsip Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). “Prinsip itu, mengembalikan kerugian tidak menghapus pidana,” kata Edwin begitu pengacara tersebut akrab disapa, Jumat 15 Juli 2022 di Jakarta.
Menurut Edwin yang juga tergabung dalam advokat Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengatakan siapapun yang merasa dirugikan akibat upcoding sehingga muncul markup klaim terhadap BPJS itu, boleh melaporkan kepada pihak yang berwajib. “Tentunya dengan minimal 2 alat bukti yang sah. Hemat saya, pasien BPJS adalah pihak yang paling banyak dirugikan dalam kasus ini. Bikin laporan saja,” katanya Edwin dikawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.
Lebih tegas, Edwin berujar bahwa jika tidak dilaporkan dan masyarakat menerima saja apa yang terjadi ditambah dengan klaim SPH dipotong untuk mengganti markup yang telah terjadi itu sama juga bohong. “Logika berpikirnya salah, jika rumah sakit itu menerima uang hasil markup lalu diganti uangnya dengan klaim periode selanjutnya, lantas alkes yang sudah terpakai bagaimana? Jasa dokter? Tentu ada beberapa vendor yang juga turut dirugikan,” ungkapnya.
Edwin berseloroh, bahwa upcoding yang berujung markup klaim SPH terhadap BPJS ini akan berdampak kepada hal yang lebih vital lagi, yaitu pelayanan rumah sakit. “Ujung-ujungnya nanti itu pelayanan bisa ngawur, sehingga jangan dibiarkan. Karena ini ranah pidana, ya kalau berhasil dilakukan penahanan kepada terduga pelaku dan paling izin rumah sakit dicabut,” tegasnya.
Ia berharap upaya mengurai benang kusut fraud yang terjadi di SPH, kendati merupakan rumah sakit private, mesti didukung oleh semua pihak termasuk aparat penegak hukum yang proaktif. “Selain itu, jika ini terbukti lalu mendapatkan sanksi seperti penahanan hingga pencabutan izin rumah sakit, setidaknya membuat efek jera dan menjadi bahan renungan bagi rumah sakit lain di Padang atau dimana saja untuk berniat melakukan kecurangan,” tutur Edwin.
Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), Laksono Trisnantoro, pada tabloid Indonesia Raya edisi sebelumnya mengatakan fraud itu bisa dilakukan peserta, FKTP, FKRTL, BPJS Kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan. Salah satu titik rawan terjadinya fraud di JKN itu berada di fasilitas kesehatan (faskes).
Ia mengingatkan sanksi administratif itu tidak menghapus sanksi pidana yang bisa menjerat pelaku fraud sebagaimana diatur dalam KUHP. Oleh karenanya seluruh pemangku kepentingan harus hati-hati menjalankan tugas dan fungsinya dalam program JKN. “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pasa 2 dan 3, ini UU 31/1999 dan diubah menjadi UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” katanya.
Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), Laksono Trisnantoro, pada tabloid Indonesia Raya edisi sebelumnya mengatakan fraud itu bisa dilakukan peserta, FKTP, FKRTL, BPJS Kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan. Salah satu titik rawan terjadinya fraud di JKN itu berada di fasilitas kesehatan (faskes).
Ia mengingatkan sanksi administratif itu tidak menghapus sanksi pidana yang bisa menjerat pelaku fraud sebagaimana diatur dalam KUHP. Oleh karenanya seluruh pemangku kepentingan harus hati-hati menjalankan tugas dan fungsinya dalam program JKN. “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pasa 2 dan 3, ini UU 31/1999 dan diubah menjadi UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” katanya.
Sementara itu sebelumnya diberitakan Indonesia Raya edisi 408 pekan lalu, di Semen Padang Hospital didapatkan temuan dari tindak lanjut temuan audit klaim prosedur PCI. Surat BPJS Kesehatan Nomor 1501/II-04/0419 menyebutkan telah terjadi kecurangan dalam klaim SPH kepada BPJS Kesehatan. Hal tersebut berdasarkan telaah utilisasi lebih lanjut kasus prosedur PCI severity level 2 (keadaan sedang) dan 3 (keadaan berat) dengan LOS 2 hari dan 3 hari di Semen Padang Hospital terlihat adanya data anomali, dimana hanya satu pasien dengan cara pulang meninggal dan seluruh pasien lainnya pulang dengan status sehat.
BPJS menyatakan adanya keanehan terhadap sebaran data yang ditelusuri lebih lanjut dalam hal kesesuaian pengentrian diagnosa sekunder yang memang diberikan terapi dengan adekuat dalam episode rawat inap atau hanya sebagai terapi kronis stabil yang memang sudah merupakan bagian terapi dari poliklinik.
BPJS juga telah melakukan 2 kali pertemuan dengan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) terkait PCI Semen Padang Hospital. Pertama disepakati bahwa kode diagnosa Hypertensive Heart Disease dan Congestive Heart Failure yang dientri sebagai diagnosa sekunder akan ditelaah kembali oleh SPH, apakah layak entri atau tidak dalam waktu 1 minggu setelah pertemuan tanggal 19 November 2018, karena secara umum kondisi pasien di SPH yang mendapatkan tindakan cathlab (PCI) sudah dengan kondisi stabil dan sudah mendapat terapi sebelumnya di poli rawat jalan. Namun, SPH menyerahkan hasil telaah kembali itu lebih dari 1 minggu sesuai kesepakatan, yaitu pada tanggal 19 Februari 2019.
Pada tanggal 4 April 2019 dilakukan pembahasan kembali oleh Ketua dan Anggota TKMKB dalam rapat triwulan I dengan kesimpulan bahwa untuk kasus PCI pada pasien yang sudah mendapatkan terapi di poliklinik, tidak perlu diinput lagi diagnosa sekunder saat rawat inap. Sehingga dilakukan penelusuran terhadap seluruh klaim Semen Padang Hospital sebanyak 373 kasus, dimana 323 kasus terindikasi klaim upcoding yang berarti penulisan kode diagnosis yang berlebihan dengan cara mengubah kode diagnosis dan atau prosedur menjadi kode yang memiliki tarif lebih tinggi dari yang seharusnya.
Didalam surat tersebut, tercantum table rekapitulasi hasil audit PCI per bulan di Semen Padang Hospital rentang bulan Januari 2017 hingga Desember 2018. Secara keseluruhan, terdapat upcoding claim dengan nominal Rp. 7.408.726.900.
Sayangnya hingga berita ini naik cetak, WA Indonesia Raya masih diblokir oleh Ketua Yayasan Semen Padang Hospital Iskandar Zulkarnain Lubis. Begitu juga pesan WA yang dikirimkan kepada Direktur SPH saat terjadinya fraud, dr Abdi Setia Putra, memilih untuk bungkam. (Tim)
Artikel ini sudah tayang pada Tabloid Indonesia Raya Edisi 410.