Jangan Pilih Caleg Yang Seperti Ini

Oleh : Abdi Masa, S.E., M.M. (Wartawan Utama)

Alat peraga kampanye caleg yang ditempel di dinding rumah warga tanpa izin. (Dok)

Kontestasi politik katanya tahun 2024. Nyaris sudah mulai pada saat ini. Kayu-kayu yang biasanya tumbuh tanpa gangguan paku, sudah mulai kesakitan. Pasalnya para caleg, beberapa diantaranya sudah mulai memaku batang kayu untuk mempamerkan wajah plus slogan janji-janji kampanye. Tapi parahnya, ada juga caleg yang memaku dinding rumah orang dan menempelkan stiker tanpa seijin yang punya rumah. Pilih nggak ya ?

EKSPRESNEWS.COM – Tahun politik kata orang sudah didepan mata. Banyak spanduk dan foto-foto calon anggota legislatif bermunculan. Segudang janji-janji politik mulai ditebar bak jaring menangkap ikan, jika ada yang terjaring alhasil masuk satu suara.

Penulis menehaskan ini bukan soal antipati atau ujaran kebencian terhadap legislatif. Hanya berupaya mengajak para pembaca untuk membuka mata dalam hal pilih memilih saat pemilihan nanti tahun 2024.

Tak sedikit juga rekan penulis yang mendaftarkan diri sebagai calpn anggota legislatif. Pada dasarnya mereka memamg menebar janji politik, dimana disaat berhasil menjadi wakil rakyat, harus mereka tepati atau tunaikan.

Janji Busuk Politik

Tidak ada yang tidak tahu untuk saat ini. Politisi memang harus berujar janji terhadap konstituennya jika ingin mendapatkan suara dan duduk digedung parlemen. Tapi, sebagai pemilih, perlu kiranya dikaji ulang calon-calon yang akan dipilih.

Apa saja janji politiknya, masuk akalkah ? Lalu, apakah benar-benar bisa direalisasikan ? Dari janji-janji para caleg sebenarnya bisa juga dilihat, seberapa besar bualan mereka untuk mendapatkan suara. Ingat, hak pilih ada bukan karena janji, tapi seberapa mampu caleg itu merealisasikan janjinya tersebut.

Ambil satu contoh, seorang caleg yang diusung oleh partai A. Lalu menebar janji akan memberikan keberlanjutan pbangunan untuk negeri ini, baik lokal maupun nasional. Untuk janji ini cukup bagus, tapi masyarakat perlu melihat sosoknya.

Sosoknya bagaimana? Apakah semasa sebelum menjadi calon anggota legislatif, caleg ini pernah berurusan terhadap pembangunan ? Jika ada, bagaimana pembangunannya ? Lancar atau tidak ?

Zolim Terhadap Rakyat

Lalu, apakah sebelumnya caleg itu pernah menjabat dipemerintahan? Lihat juga bagaimana kelakuannya semasa menjabat. Apakah pernah menzolimi masyarakat ? Apakah pernah melakukan perbuatan melawan hukum ? Korupsi ?

Agaknya masyarakat sudah cukup cerdas. Dunia teknologi sangat terbuka luas, jejak digital sangat kejam bagi siapapun yang pernah berbuat zolim. Terutama caleg-caleg yang katanya “berpengalaman” dipemerintahan. Pahami dulu, pengalamannya bagaimana ? Pengalaman berbuat semena-mena dengan masyarakat ? Tentu ini tidak akan kita pilih sebagai wakil rakyat.

Berbekal pengalaman jadi kepala daerahpun tidak cukup untuk menuju parlemen. Jangankan kepala daerah, guru saja yang notabene mendidik anak jadi pintar, belum tentu bisa melenggang hingga Senayan.

Sok Pengabdian Masyarakat

Apalagi dengan dalih pengabdian terhadap masyarakat. Menjadi wakil rakyat tidak serta merta soal pengabdian. Contoh saja, dosen yang jelas menjalankan “pengabdian masyarakat” sebagai tri dharma perguruan tinggi, belum tentu sanggup melenggang jadi wakil rakyat.

Dosen setidaknya sekali setahun menjalankan Kuliah Kerja Nyata bersama masyarakat. Tidak selamanya pula mulus, banyak berita-berita yang berbenturan dengan warga, apalagi dengan norma-norma kemasyarakatan. Lalu, yang punya janji busuk berpolitik denhan landasan pengabdian masyarakat, tentu sudah jelas tak perlu dipilih caleg yang seperti ini.

Lebih baik caleg yang seperti ini mengabdikan diri dulu ke masyarakat tanpa menggunakan jabatan alias benar-bemar jadi masyarakat biasa dulu, baru belajar mengabdi ditataran bawah. Kalau waktu ada jabatan, tentu ada dukungan terutama soal kekuasaan. Jadi waktu menjabat itu bukan pengabdian, melainkan ya memang itu tugasnya melayani masyarakat.

Segudang Tipuan Prestasi

Ada juga caleg yang memiliki prestasi berhasil membangun sekolah, suksesnya membangun sarana pendidikan. Lalu dijadikan sebagai peluru untuk membuyuk masyarakat memilihnya. Penulis mencoba memahami, jika sektor pembangunan yang selesai lalu dijadikan jualan dalam meraup suara, tentu sama saja dengan bualan belaka. Bagaimana tidak, pembangunan sukses itu karena kerja dinas terkait, bukan caleg secara pribadi.

Misal, ada sekolah besar dengan standar pendidikan yang sukses dibangun, sebagai masyarakat penulis sah dan dibenarkan mengklaim bahwa itu hasil dari penulis. Saya bayar pajak kan ? Uang pembangunan itu dari masyarakat kan ? Jadi jangan asal klaim sendiri.

Malah ada caleg yang melakukan pembangunan tapi tidak taat terhadap hukum dan aturan serta seperti memanipulasi peraturan daerah seenaknya. Bahkan hingga menzolimi orang-orang disekitar.

Walau menggunakan uang pribadi, tapi karena sudah melakukan pelanggaran agaknya bagaimana jika nanti terpilih dan duduk mewakili rakyat? Apakah tidak bahaya yang begini ? Sekarang saja sudah merenggut hak warga, lalu jika nanti di gedung parlemen diduga akan banyak hak masyarakat yang terzolimi.

Jadi caleg yang seperti ini, lebih baik jangan dipilih. (***)