EkspresNews.com – Istana Kepresidenan menilai kondisi defisit transkasi berjalan (Current Account Deficit/CAD)Indonesia sebesar 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sebenarnya belum menjadi ‘lampu kuning’ bagi perekonomian Tanah Air. Meski begitu, pemerintah menyiapkan tiga jurus untuk mengatasi defisit transaksi berjalan tersebut.
Staf Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan Indonesia memang didera defisit transaksi berjalan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terjadi karena surplus neraca perdagangan barang tak mampu menutup defisit neraca jasa yang kerap meningkat.
Meski begitu, Erani melihat kondisi defisit transaksi berjalan belum mengkhawatirkan. Indonesia, menurut dia, pernah mengalami posisi defisit yang lebih besar, yakni mencapai 3,12 persen dari PDB pada 2013.
“Saat itu baru ‘lampu kuning’, tapi selama defisit transaksi berjalan tidak melampaui 3 persen, itu aman. Bahkan, negara-negara lain tidak masalah defisitnya mencapai 5 persen selama ada tujuannya,” ungkap Erani, Selasa (28/5).
Di sisi lain, meski menganggap kinerja defisit transaksi berjalan nasional belum mengkhawatirkan, Erani mengatakan pemerintah tak serta merta mengabaikan posisi defisit. Pemerintah, katanya, justru tengah menjalankan tiga kebijakan untuk mendorong penurunan defisit transaksi berjalan.
Salah satunya, menurut dia, dengan memperbaiki kinerja neraca perdagangan yang tengah dirundung defisit. Pada April 2019, defisit neraca perdagangan mencapai US$2,5 miliar. Realisasi itu merupakan yang terburuk dalam sejarah Indonesia.
“Ini terjadi karena ada masalah besar sejak 2018, harga minyak meningkat, walaupun volume impor sama. Lalu, ada perang dagang Amerika-China, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan pelarian modal karena nilai tukar fragile,” terangnya.
Menurutnya, untuk mengatasi defisit neraca perdagangan, pemerintah sudah mulai melakukan tiga jurus. Pertama, menambah kapasitas produksi minyak di kilang-kilang domestik, misalnya pada Kilang Cilacap.
“Dengan begitu, ada puluhan ribu barel minyak yang tadinya impor, tapi sekarang dari Kilang Cilacap. Kami juga mendorong investasi di kilang lain,” ujarnya.
Lalu, masih di sektor minyak dan gas (migas), pemerintah juga terus menjalanan program campuran minyak nabati sebesar 20 persen ke minyak solar alias B20. “Pak Menko (Perekonomian) Darmin Nasution bilang sekitar 2020-2021, solar sudah bisa dihentikan impornya,” imbuhnya.
Kedua, di sektor nonmigas, pemerintah tengah membuka lebar-lebar pintu investasi di sektor mineral. Salah satunya, dengan mengembangkan kawasan Morowali sebagai hulu hingg hilir industri mineral Nusantara. (AM)