DPD RI  

Hadiri FGD tentang Utusan Golongan, LaNyalla Ingatkan Tidak Bisa Tanpa Kembali ke Sistem Asli

LaNyalla Menghadiri Diskusi Tentang Utusan Golongan. Foto: Abdi

BOGOR, EKSPRESNEWS.COM – Perubahan konstitusi yang dilakukan pada 1999 hingga 2002 telah menghapus keterwakilan utusan golongan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Menurut Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, jika ingin Utusan Golongan dihadirkan kembali, salah satu jalannya adalah kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli.

“Pengisian Utusan Golongan jika dilakukan tanpa kembali kepada naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, maka tidak akan ada artinya,” tegas LaNyalla dalam Focus Grup Diskusi (FGD) yang diselenggarakan Yayasan Membangun Nusantara Kita di Museum Balai Kirti Istana Kepresidenan Bogor, Minggu (15/1/2023).

LaNyalla menjelaskan, Undang-Undang Dasar hasil perubahan di tahun 1999 hingga 2002 telah meninggalkan nilai-nilai Pancasila.  “Pancasila tidak lagi tercermin di dalam Pasal-Pasal yang telah diubah 95 persen lebih dari naskah aslinya. Sehingga Konstruksi sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa sudah bubar,” tegas LaNyalla.

Senator asal Jawa Timur itu melanjutkan, yang terjadi justru Undang-Undang Dasar hasil amandemen saat Reformasi itu justru menjabarkan nilai-nilai lain, yaitu ideologi Liberalisme dan Individualisme.

Dikatakan LaNyalla, saat itu narasi-narasi Barat yang disodorkan adalah antitesa dari Era Orde Baru. Padahal, praktik yang terjadi di Era Orde Baru adalah penyimpangan dari harapan dan rumusan sistem bernegara ideal yang disusun para pendiri bangsa.

“Para pendiri bangsa jelas tidak menghendaki sistem Trias Politica atau pemisahan kekuasaan. Tetapi justru memusatkan kekuasaan berada di Lembaga Tertinggi Negara yang merupakan penjelmaan rakyat, sehingga kedaulatan benar-benar di tangan rakyat,” ujar LaNyalla.

Lembaga Tertinggi Negara itu menurut LaNyalla tak hanya diisi melalui Pemilu, tetapi juga diisi melalui utusan. Bahkan, LaNyalla menyebut jika demokrasi Pancasila merupakan sistem terbaik yang pernah ada di dunia.

“Jika hari ini kita berbicara mengenai Utusan Golongan, maka seharusnya kita berbicara secara utuh sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa,” tegas LaNyalla.

Oleh karenanya, LaNyalla menegaskan pentingnya keterwakilan Utusan Golongan di MPR untuk memperkuat kedaulatan rakyat.  Sebab, demokrasi Pancasila adalah satu-satunya sistem yang berbeda tersendiri di dunia.

“Hanya sistem demokrasi Pancasila yang memiliki Lembaga Tertinggi yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari penjelmaan rakyat,” tegas LaNyalla.

Dijelaskannya, wakil-wakil yang dipilih adalah peserta Pemilihan Umum. Sedangkan wakil-wakil yang diutus adalah mereka yang diusung dan diberi amanat oleh kelompok mereka. Dengan begitu, akan ada dua utusan yang terdiri dari Utusan Daerah dan Utusan Golongan.

“Utusan Daerah yaitu mereka para tokoh daerah atau Raja dan Sultan Nusantara. Sedangkan Utusan Golongan adalah mereka yang terdiri dari organisatoris dan profesional yang aktif di bidangnya,” jelas LaNyalla.

Menurutnya, Upaya itu bisa dilakukan dengan mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, untuk kemudian diamandemen dan sempurnakan kelemahannya dengan teknik addendum. Tentu tanpa mengubah sistem bernegaranya.

“Itulah yang sekarang sedang saya tawarkan kepada bangsa ini. Mari kita perbaiki kelemahan naskah asli konstitusi kita. Tetapi jangan kita mengubah total konstruksi bernegara yang telah dirumuskan para bangsa,” kata LaNyalla.

Salah satunya, kita bisa memperkuat dengan mempertegas cara pengisian Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Tujuannya agar kita tidak mengulang praktik yang salah di era Orde Baru, di mana Utusan tersebut ditunjuk oleh Presiden.

“Kita bisa memperkuat peran DPR dengan memasukkan peserta pemilu dari dua unsur, yaitu unsur partai politik yang merupakan political representatif, dan peserta pemilu dari unsur perseorangan yang mewakili wilayah atau regional representatif,” beber LaNyalla.

Utusan Daerah dan Utusan Golongan bisa diperkuat dengan memberikan kepada mereka hak untuk memberikan pertimbangan yang wajib diterima oleh DPR dalam merumuskan undang-undang. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab kepastian terjadinya public meaningful participation dalam pembuatan undang-undang.

Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi oleh Senator asal Lampung, Bustami Zainuddin, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Kepala Biro Sekretariat Pimpinan DPD RI, Sanherif Hutagaol.

Hadir pula sejumlah tokoh di antaranya Prof Yudhie Haryono (pengamat politik), Mayjen TNI Rido Hermawan (Lemhanas), Prof Dr Nanik Widayati (Budayawan Universitas Tarumanegara), Eko Sriyanto Galgendu (Ketua Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia/GMRI), Setyo Wibowo dan sejumlah tokoh lainnya. (*)