Demokrasi Semu Pemilihan Rektor

Rektor terpilih dengan suara terbanyak di senat sering tersandung oleh Permenristekdikti yang memberikan hak 35 % suara menteri dalam pemilihan rektor. Lobi menjadi permainan rahasia untuk meraih kursi rektor ?

EkspresNews.com – WAJAH pemuda yang berakal sehat itu terlihat kaget. Tatapannya gelisah. Sebatang rokok kretek terjepit di antara dua jari tangan kanannya. Asap mengepul dari bibirnya yang kering kerontang. Sekelabat ia menyibakan rambutnya yang panjang, lantas menarik nafas panjang dan berkata, ”saya bingung, kenapa dalam pemilihan rektor seperti di Unand dan UNP yang terpilih dengan suara terbanyak di senat tidak menjadi rektor-malah yang ditetapkan menjadi rektor oleh menteri adalah calon dengan suara terendah dalam pemilihan. Kalau seperti ini untuk apa pemilihan  rektor diadakan, lebih baik rektor ditunjuk lansung saja oleh Menristekdikti,” ujar pemuda itu sembari membalik dan memutar berirama sebatang rokok kretek di antara jari-jemarinya kepada Indonesia Raya (afiliasi EkspresNews), Rabu (15/5) pagi, di kampus Unand Padang.

Rektorat Kampus Unand

Berdasarkan pengamatan Indonesia Raya di beberapa pemilihan rektor Peguruan Tinggi Negeri (PTN) di Sumbar seperti Universitas Andalas (Unand) dan Universitas Negeri padang (UNP), memang ditemui  banyak kritik publik yang berakal sehat dan melahirkan berbagai asumsi di publik. Betapa tidak, calon yang menjadi rektor adalah calon yang perolehan suara terendah dalam pemilihan yang dilakukan oleh senat. Ambil contoh misalnya, pemilihan Rektor Unand 2015-2019-dari 73 anggota senat, Prof Dr Werry Taifur Darta meraih suara terbanyak 40 suara lebih, sedangkan Prof Dr Tafdil –rektor sekarang- meraih suara terendah dengan perolehan suara 16 suara. Tapi karena Tafdil berhasil mendapatkan 35 % hak suara Menristekdikti dari total pemilih, maka rektor terpilih dengan suara terbanyak tersingkir dengan hak suara menteri 35 % tersebut.

Pemilihan Rektor Universitas Padang (UNP) 2016-2020, dari 82 anggota senat Prof Dr Yanuar Kiram berhasil meraih 32 suara atau suara terbanyak dari pemilih murni, Prof Dr Syamsul Amar mendapatkan 25 suara, sedangkan Pr Dr Ganefri-Rektor Sekarang-hanya berhasil meraih 21 suara atau suara terendah dari ke tiga calon. Namun, apa nak dikata ? Lobi menjadi permainan rahasia antara tim sukses rektor dengan kementerian riset, teknologi dan pendidikan tinggi. Ganefri calon dengan suara terendah dalam pemilihan murni berhasil mendapatkan 35 % hak suara Menristekdikti dari total suara, maka yang menjadi rektor adalah calon dengan suara terendah dalam pemilihan. “Ini demokrasi semu namanya,” ujar salah seorang penggiat anti korupsi, kolusi, dan nepotisme dari Laskar Anti Korupsi Indonesia, M. Rasul, kepada Indonesia Raya dalam perbincangan, Kamis (16/5) siang, di Padang.

Penggiat Anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme itu mengatakan, Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian rektor itu tidak mengandung prinsip-prinsip demokrasi. “Seharusnya pemilihan rektor tidak ada campurtangan Menristekdikti, tetapi menjadi otoritas dari PTN sendiri. Permenristekdikti ini telah membelenggu proses demokrasi di kampus. Ini adalah demokrasi semu,” katanya.

Dikatakan Rasul, ketentuan tentang suara Menristekdikti 35 % itu justru rawan intervensi. Karena, katanya lagi, dalam pemilihan rektor calon yang terpilih bukan yang memiliki suara terbanyak dari hasil pemilihan internal di senat seperti pemilihan Rektor Unand 2015-2019 dan Pemilihan Rektor UNP 2016-2020 tapi adalah calon dengan perolehan suara terendah. Karena, katanya lagi, ada 35 % hak Menristekdikti untuk menentukan sehingga nomor tiga sekalipun bisa dimenangkan seperti contoh di atas. “Agar tidak terjadi dugaan tindak pidana korupsi dengan bentuk suap atau gratifikasi dalam jual beli jabatan seperti yang terjadi di Kementerian Agama, maka KPK harus mengawasi setiap pemilihan rektor PTN ini,” ujarnya.

Aktivis 98 Ady Surya SH MH, mengatakan, pabrik intelektual yang tidak menghasilkan perubahan. Dalam pemilihan rektor, katanya lagi menambahkan, terjadi system feodalisme di kalangan civitas akademika. “Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 itu harus dicabut, karena melakukan proses perusakan dan intervensi terhadap dunia kampus serta menodai nilai-nilai demokrasi yang seharusnya lahir dalam kampus,” ujar Ady Surya SH MH dalam sebuah perbincangan dengan Indonesia Raya, Kamis (16/5) siang, di Padang.

Ady Surya SH MH melihat dengan adanya Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian rektor dan mayoritas suara menteri tersebut akan membuka peluang besar terjadinya gratifikasi atau suap terhadap suara menteri tersebut. Karena itu, katanya lagi, ini harus dihapuskan. Sekali lagi, katanya menambahkan, Permenristekdikti tersebut harus dicabut karena potensial terjadi gratifikasi dan merusak pabrik intelektual atau akademisi kampus.

“Warga kampus-mahasiswa, karyawan, dan dosen-harus mengawasi secara ketat dan ikut menuntut pencabutan Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 tersebut, dan menghilangkan suara mayoritas menteri yang berpotensi gratifikasi,” papar pendiri Lembaga Advokasi Mahasiswa-Pengkajian Kemasyarakatan (LAM-PK) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini. Rianda Seprasia SH MH, Aktivis Pro Demokrasi, mengatakan, pertama yang harus dilakukan adalah mencabut Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 tersebut, mekanisme pemilihan rektor sepenuhnya diserahkan kepada senat perguruan tinggi.

“Senatlah yang mengetahui integritas dan akuntabilitas dari calon rektor tersebut. Kalau mengacu kepada Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 dimana menteri mempunyai hak suara 35 % dari total pemilih, itu membuktikan bahwa demokrasi pemilihan rektor tidak demokrasi murni,” ujar Rianda. (Harianof)




Cawako & Cawawako


This will close in 8 seconds