Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur pemilihan rektor di PTN tidak mengandung prinsip demokrasi dan keadilan. Yang diharapkan dari perjuangan 98 silam adalah, demokrasi substansial bukan demokrasi yang dianut oleh Permenristekdikti. Diperlukan pengawasan KPK pada setiap pemilihan rektor PTN ?
EkspresNews.com – PASAL 7 Permenrisetdikti Nomor 1 Tahun 2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian rektor menyebutkan, dalam penentuan rektor menteri memiliki 35 % hak suara dari total pemilih. Sedangkan senat memiliki 65 % hak suara dan masing-masing anggota senat memiliki hak suara yang sama. Besarnya hak suara mentri dalam pemilihan rektor bisa menjadi celah terjadinya transaksional. Karena itu, dalam pemilihan rektor calon yang terpilih bukan yang memiliki suara terbanyak dari hasil pemilihan internal di senat. Pasalnya, ada 35 % hak menteri untuk menentukan sehingga nomor tiga sekalipun bisa dimenangkan seperti yang terjadi pada pemilihan Rektor Unand 2015-2019 dan UNP 2016 -2020. Yang ke luar sebagai pemenang bukanlah calon yang berhasil meraih suara terbanyak dari hasil pemilihan murni di senat, tapi yang dimenangkan adalah calon dengan perolehan suara terendah dalam pemilihan. Karena itu, tak salah jika awam melihat pemilihan rektor ini sebagai sebuah demokrasi semu.

Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 ini jelas-jelas tidak mengandung prinsip demokrasi dan keadilan. Karena, secara logika akal sehat, berdasarkan Permenristekdikti itu menteri memiliki kekuasaan untuk menentukan rektor terpilih sekalipun harus mencabik-cabik proses demokrasi yang ada di kampus. Harusnya, menurut akal sehat kita yang pro demokrasi substansial ini, Permenristekdikti ini sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan di negeri yang berkoar-koar tentang demokrasi ini. Secara logika akal sehat awam, seharusnya pemilihan rektor PTN tanpa ada camputangan atau intervensi kekuasaan pemerintah pusat melalui kementerian Riset & pendidikan Tinggi. Akan tetapi, harus menjadi otoritas bagi PTN masing-masing. Sehingga, bisa melahirkan rektor-rektor yang terbaik di PTN.
Ketua KPK Agus Raharjo pernah menyebutkan 35 % hak suara Menteri Riset Teknologi & Pendidikan Tinggi (Mesristekdikti) M.Nasir dalam pemilihan rektor PTN berpotensi korupsi. Karenanya, tak ajal bila KPK menemukan indikasi korupsi dalam pemilihan rektor di sejumlah PTN. Jika kita renungkan dalam kesendirian di pertiga malam, apa yang dikatakan Ketua KPK itu menurut logika akal sehat memang ada benarnya. Permenristekdikti ini akan membuka peluang terjadinya transaksional untuk mendapatkan 35 % hak suara menteri tersebut. Yang mengkhawatirkan kita yang berakal sehat ini, lobi-lobi akan menjadi sebuah permainan rahasia antara makelar, calon rektor yang ingin memenuhi syahwat kekuasaan dengan cara menghalalkan segala cara, dan kementerian yang memiliki 35 % hak suara dari total pemilih.
Dalam pandangan sederhana masyarakat awal yang memiliki akal sehat, harusnya pemilihan rektor di PTN-PTN itu melibatkan semua akademika perguruan tinggi-mulai dari mahasiswa, karyawan, termasuk dosen-tapi Permenristekdikti telah membelenggu proses demokrasi di kampus. Pemilihan rektor hanya system perwakilan melalui senat dan tiga orang yang terpilih, itu yang dikirim kepada Menristekdikti dan akan ditentukan oleh menteri siapa rektor yang terpilih tanpa melibatkan mahasiswa dan dosen yang belum bertitel guru besar atau professor, karena hanya anggota senat yang memilih.
Permenristekdikti ini selain menghalangi proses demokrasi di kampus juga akan menciptakan ruang transaksional dalam pemilihan rektor, yang nantinya akan berujung pada tindakan penyimpangan baik dalam bentuk jual beli jabatan maupun perdagangan pengaruh sampai kepada transaksi politik yang melibatkan keuangan Negara, sehingga ke depan kampus juga akan dirasuki virus tindak pidana korupsi.
Secara logika akal sehat, kita melihat, jika masih berorientasi juga pada Permenristekdikti tidak diperlukan ada pemilihan rektor. Sebaiknya rektor ditunjuk saja oleh Menristekdikti. Maka rektor yang ditunjuk hanyalah orang-orang yang punya kemampuan lobi, dan mampu melakukan transaksi politik. Karena itu, berhentilah berdemokrasi semu dalam pemilihan rektor PTN, karena yang diharapkan adalah demokrasi substansial bukan demokrasi semu yang diamanatkan oleh permenristekdikti tersebut. (Harianof)