PADANG, EKSPRESNEWS.COM – Cagar budaya Rumah Ema Idham, rumah yang pernah ditempati Bung Karno selama di Kota Padang, Sumatera Barat, pada 1942 dibongkar. Pembongkaran itu disayangkan sejumlah pihak karena memuat sejarah penting keberadaan Soekarno di Ranah Minang pada masa perjuangan kemerdekaan.
Cagar budaya Rumah Ema Idham yang didirikan pada 1930 itu terletak di Jalan Ahmad Yani Nomor 12, Kelurahan Padang Pasir, Kecamatan Padang Barat. Lokasi cagar budaya itu nyaris berhadapan dengan Rumah Dinas Wali Kota Padang, hanya berseberangan jalan.
Selasa (14/2/2023), lahan bekas cagar budaya itu terlihat dikelilingi pagar seng warna merah dan biru setinggi sekitar 2 meter. Adapun bangunan rumah sudah rata dengan tanah. Hanya material sisa penghancuran yang terlihat.
Suryadi (76), warga sekitar, mengatakan, bangunan tersebut dibongkar dengan ekskavator sekitar tiga pekan lalu. ”Kabarnya (lahan bekas rumah ini) akan dibangun gedung tiga tingkat,” katanya.
Menurut Suryadi, sebelumnya rumah itu pernah dimiliki oleh Fauzi Bahar, mantan Wali Kota Padang. Selanjutnya, rumah dijual ke seseorang, lalu dijual kembali ke seorang pengusaha air minum kemasan di Kota Padang yang merupakan pemilik saat ini.
Len (59), warga lainnya, mengatakan, pemilik bangunan itu adalah pengusaha air minum kemasan. Pembongkaran rumah terjadi belum sampai sebulan. Pekerja membuka atapnya terlebih dahulu, kemudian membongkar bangunan menggunakan ekskavator.
”Rumah itu dulu tidak boleh diapa-apakan. Ada rencana akan dijadikan museum. Soekarno pernah tinggal di sana,” kata Len. Ditambahkan Len, beberapa tahun lalu, rumah itu antara lain pernah dijadikan kafe dan posko partai politik sebelum akhirnya dibongkar.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang Yopi Krislova mengatakan, ia sudah mendapat informasi bahwa cagar budaya Rumah Ema Idham itu sudah dibongkar. Walakin, ia belum tahu apakah pembongkaran itu sesuai aturan atau tidak.
”Saya belum dapat informasi. Kemarin memang sudah dibongkar, tetapi belum bisa saya memberikan apa (keterangan) lagi. Saya masih di Jakarta,” kata Yopi.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Provinsi Sumbar Undri mengatakan, Rumah Ema Idham telah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan (SK) Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Padang Nomor 3 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya dan Kawasan Bersejarah di Kotamadya Padang.
”(Cagar budaya itu merupakan) tugas dan wewenang Pemkot Padang, sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 95 dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,” kata Undri.
Adapun Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar yang sekarang dilebur menjadi BPK Wilayah III Sumbar pernah membuat nomor invetaris hasil pendataan dengan nomor 33/BCB-TB/A/01/2007.
Terkait penghacuran itu, pihaknya akan berkomunikasi dan berkordinasi dengan Pemkot Padang untuk mencari solusi terbaik. ”Kami akan mengomunikaskan dan mengoordinasikan perihal perusakan atau penghancuran cagar budaya yang telah terjadi itu dengan Pemkot Padang untuk mencari solusi terbaik antara pihak pemilik cagar budaya dan pemerintah daerah,” tuturnya.
Tempat menghimpun kekuatan
Laman Padang.go.id menyebutkan, cagar budaya itu dahulunya berfungsi sebagai rumah tinggal keluarga Dr Woworuntu yang didirikan pada 1930. Selanjutnya, rumah itu dimiliki oleh Ema Idham.
Dikutip dari laman Kebudayaan.kemdikbud.go.id, cagar budaya Rumah Ema Idham pernah ditempati Soekarno selama tiga bulan pada 1942. Bung Karno pernah menggunakan rumah ini sebagai tempat menghimpun kekuatan melawan penjajah.
Keberadaan Bung Karno di Padang bermula dari langkah Belanda yang memindahkan Soekarno yang berada dalam pengasingan di Bengkulu ke Aceh. Ketika rombongan pasukan Belanda sampai di Painan, Sumbar, tentara Jepang ternyata sudah sampai ke Bukittinggi. Belanda pun akhirnya meninggalkan Soekarno di Painan.
Organisasi Hizbul Wathan yang bermarkas di Masjid Raya Ganting, Padang, kemudian menjemput dan membawa Soekarno ke Padang. Awalnya, Soekarno dan keluarga tinggal di rumah Egon Hakim, lalu pindah ke rumah kawan lamanya asal Manado, Woworuntu, yang belakangan disebut Rumah Ema Idham.
Bangunan tersebut berupa rumah hunian bergaya lokal. Bangunan berbentuk persegi panjang dengan luas 290 meter. Hampir seluruh bangunan terbuat dari cor semen, kecuali tiang serambi, kerangka atap, jendela, dan pintu yang terbuat dari kayu, serta atap dari seng.
Sejarah penting
Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Gusti Asnan menyayangkan penghancuran cagar budaya Rumah Ema Idham. Rumah itu merupakan bukti sejarah penting bagi warga Minangkabau bahwa Soekarno pernah tinggal di Padang.
”Cukup besar pengaruhnya bagi Minangkabau. Kehadiran Soekarno turut memberi napas terhadap perjuangan urang awak ketika itu. Sayang sekali rumah itu dihancurkan,” kata Gusti.
Gusti mendorong Pemkot Padang lebih memberikan perhatian terhadap cagar budaya. Selama ini, pemkot cenderung sekadar menetapkan situs sebagai cagar budaya, setelah itu tak pernah lagi mengunjunginya.
Berkaca pada kebijakan di Bremen, Jerman, lanjut Gusti, pemkot di sana selalu mengunjungi situs-situs cagar budaya secara berkala. Mereka berkeliling menanyakan kondisi situs kepada pemiliknya.
”Di sini, apakah pernah dikunjungi rumah yang sudah jadi cagar budaya itu? Saya memberikan masukan ke pemerintah agar cagar budaya yang sudah ditetapkan selalu dikunjungi sehingga pemiliknya, ketika hendak mengubah, melapor,” ujarnya.
Yulsi Munir dari Tim Profesi Ahli (TPA) Kota Padang juga amat menyayangkan penghancuran cagar budaya Rumah Ema Idham tersebut. Meskipun baru berstatus cagar budaya tingkat kota, bangunan itu memenuhi semua unsur untuk dilindungi nilai dan keberadaannya.
”Rumah itu bagian dari sejarah perjuangan bangsa, tidak hanya Padang, tetapi nasional karena ini terkait dengan Soekarno. Seharusnya cagar budaya ini diregistrasi tingkat nasional, tidak sekadar tingkat kota,” kata Yulsi.
Hal yang lebih menyedihkan, lanjut Yulsi, adalah keberadaan cagar budaya yang berhadap-hadapan dengan rumah dinas Wali Kota Padang. Pejabat organisasi perangkat daerah tentu sering berkunjung ke sana.
”Bagi saya, itu bukan kecolongan, tetapi tidak ada rasa peduli. Pihak yang bertanggung jawab melindungi cagar budaya di struktur pemerintahan tidak bekerja,” kata perempuan yang juga Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sumbar ini.
Penghancuran cagar budaya itu mestinya menjadi yang terakhir. Kasus ini mesti menjadi pembelajaran bagi Pemkot Padang. Cagar budaya tidak hanya sebatas tercantum di surat keputusan (SK) wali kota, tetapi harus ada aturan dan upaya nyata melindungi keberadaannya.
”Harus ada sosialisasi keras dari pemkot, apa itu cagar budaya, mana saja yang ditetapkan cagar budaya. Pemilik cagar budaya juga mesti diberi pembekalan apa saja yang boleh dilakukan terhadap cagar dan apa yang tidak,” ujarnya.
Yulsi juga mendorong Pemkot Padang berani menindak tegas pihak yang menghancurkan cagar budaya itu agar sekitar 50 cagar budaya lain yang tersisa di Kota Padang tidak bernasib serupa.
”Kalau berani, pemkot tegakkan sanksi sesuai aturan UU yang berlaku. Dengan begitu, semua orang akan sadar, tidak bisa main-main dengan cagar budaya. Kalau didiamkan saja, akan jadi contoh bagi orang lain untuk merusak cagar budaya yang tersisa,” katanya.
Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyebutkan, setiap orang dilarang merusak cagar budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.
Selanjutnya, Pasal 105 Ayat (1) menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja merusak cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah). (Red)