EkspresNews.com – Kedatangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy ke Kabupaten Limapuluh Kota (Sumbar) Senin (24/4) lalu, tujuan utama adalah melihat dari dekat apa yang terjadi sebenarnya dengan proyek nasional ini, sehingga terbengkalai dikerjakan di tahun 2016. Kunjungan menteri itu, diantar langsung Bupati Limapuluh Kota, Irfendi Arbi, kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Rodimas, serta kepala OPD Lainnya.
Menteri mengatakan bahwa dirinya ditugaskan oleh Presiden Jokowi untuk meninjau beberapa proyek dibawah naungan Kemendikbud, salah satunya Pembangunan Museum PDRI. “Kita sedang mempelajari bagaimana dampak positif dan negatifnya dari pembangunan proyek ini, nanti kita akan evaluasi tentang kelayakannya. Saat ini Kemendikbud belum ada keputusan untuk melanjutkan pekerjaan proyek PDRI, masih mempelajari apa permasalahan yang menyebabkan pembangunan PDRI tidak dilanjutkan selama tahun 2016 lalu,” ujarnya.
Pekerjaan mega proyek PDRI ini melibatkan lima kementerian, yakni Pertahanan, Sosial, Pekerjaan Umum, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Kementerian Dalam Negeri, semuanya semasa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dimasa kabinet baru belum ada penjelasan tentang kelanjutan proyek tersebut.
Mendikbud mengakui bahwa kunjungan kerja tersebut merupakan bagian dari tugas yang diinstruksikan Presiden Jokowi untuk melihat beberapa proyek di bawah naungan Kemendikbud, salah satunya pembangunan museum PDRI. Usai melihat secara langsung pengerjaan proyek pembangunan monas di Kecamatan Gunuang Omeh tersebut, Mendikbud belum bisa memutuskan kelanjutan pembangunannya. Menurutnya, perlu dikaji lebih dalam titik persoalan yang terjadi akhir-akhir ini.
Sebelum kedatangan Mendikbud ke Koto Tinggi Limapuluh Kota, Indonesia Raya telah menelusuri ke lokasi bersama satu Tim Wartawan yang bertugas di Luak Limopuluah (Sumbar). Apa yang ditemukan dan yang diterima Mendikbud tentang laporan negatif terhadap proyek ini, belumlah semua dilihat oleh Mendikbud. Proyek dikerjakan asal-asalan, yang telah siap mengalami kerusakan, yang merugikan negara milyaran rupiah. Kualitas dari pekerjaan yang dikhawatirkan tidak sesuai bestek, sudah barang tentu menjadi tanggung jawab dari kontraktor PT.DELIMA AGUNG UTAMA, konsultan pengawas dan pengguna anggaran dalam pelaksanaan Pembangunan Monumen PDRI di Koto Tinggi. Tidak hanya sampai proyek itu selesai dikerjakan sampai batas waktu yang ditetapkan. Namun yang paling penting adalah kualitas pekerjaan, jumlah item pekerjaan dan lainnya, kini sudah menjadi perhatian serius bagi kalangan penegak hukum, LSM, Wartawan dan masyarakat di Luak Limopuluah.
Pasalnya adalah, sejak dimulainya pembangunan yang mempunyai nilai sejarah ini, sudah menampakan ketidakberesan dalam penanganan proyek ini, katakanlah dari awal proses tender, sudah penuh dengan rekayasa atau kongko-kongko secara berKKN. Padahal wujud dari pembangunan museum ini sebagai menghormati dan mengenang para pejuang kemerdekaan RI, Jika PDRI tidak ada, mungkin dapat dikatakan Republik Indonesia akan lenyap dalam peta politik dunia. Bahkan, penjajah Belanda pada waktu itu dengan leluasa mengatakan bahwa pemerintahan Indonesia telah bubar karena pemimpinnya ditawan dan daerah-daerah jatuh ditangan mereka.
Pembangunan Monumen Nasional Bela Negara di Koto Tinggi yang menyerap dana APBN tahap pertama hampir Rp20miliar, dan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan monumen ini dilakukan bersamaan dengan peringatan Hari Bela Negara (HBN) pada 19 Desember 2012. Pembangunannya diperkirakan membutuhkan biaya sekitar Rp268 miliar, yang akan dianggarkan dari anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dibantu oleh Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia. Selain monumen, beberapa bangunan penunjang juga akan dibangun di area yang sama, seperti gedung serbaguna, masjid, diorama, museum, pustaka, dan bangunan literatur sejarah.
Banyak pihak menyangsikan kondisi riil di lapangan, pasca dimulainya pekerjaan pembangunan monumen Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), diduga sejak pelaksanaan proses lelang serta penetapan pemenang lelang terkesan bertolak belakang dengan statemen Dirjen Kebudayaan Kemendiknas Prof. DR. Kacung Marijan.
Boleh dikata, pembangunan ini hampir ada kesamaannya dengan kasus proyek gedung olah raga Hambalang yang syarat dengan persoalan menjurus pada kerugian uang negara, hanya saja peruntukan dan latar belakangnya yang berbeda. Seperti yang dikatakan Mendikbud, bahwa proyek ini telah menelan dana lebih kurang Rp.50,5 milyar, dari Rp.80milyar dana APBN yang dianggarkan untuk proyek ini.
Sementara itu, Bupati Irfendi Arbi mengatakan kedatangan menteri ini menjadikan motivasi sendiri bagi Kabupaten Limapuluh Kota, menurutnya hal itu terlihat dengan antusias masyarakat menyambut kedatangan menteri di Koto tinggi. “Kita ucapkan selamat dan terimakasih atas kunjungan menteri di Kabupaten Limapuluh, mudah-mudahan ini akan menjadikan jalan dan motifasi untuk mencari yang terbaik bagi daerah, mayarakat Luak Limopuluah kedepan, dan membuahkan aparatur Negara dan swsta yang baik untuk menangani proyek ini serta meningkatkan mutu pendidikan di daerah ini,” ungkap Bupati.
Lain halnya tanggapan dari Wakil Bupati Ferizal Ridwan tentang Kunjungan kerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy guna meninjau ulang proyek pembangunan monumen nasional dan museum PDRI di Kototinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Senin (24/4), menuai respons tak sedap. Pasalnya, dari kunjungan tersebut, sepertinya Mendikbud memberikan sinyal lemah untuk kelanjutan pembangunan.
Berhentinya pembangunan tersebut disebabkan masalah teknis, bukan masalah prinsipil. Alhasil, lemahnya sinyal untuk kelanjutan proyek, menuai reaksi keras dari Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan, yang juga pegiat Yayasan Peduli Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (YPP-PDRI). Menurut Ferizal Ridwan, pernyataan Menteri Muhadjir yang memberi sinyal bakal mengevaluasi atau tidak melanjutkan pembangunan Monas PDRI, dinilai sebagai pernyataan pengkhianatan terhadap sejarah. Padahal, pembangunan Monas PDRI sudah menjadi komitmen bersama sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 menteri pada 2008 lalu.
“Selaku putra daerah yang juga pengurus YPP-PDRI tahun 1948-1949, kami tentu keberatan mendengar sinyal Pak Mendikbud. Pak Menteri, seyogianya lebih memahami sejarah PDRI dan ikut mendorong melanjutkan proyek yang tengah mangkrak. Bahasanya jangan dihentikan, karena Pak Mendikbud bisa mengkhianati sejarah,” kata Ferizal Ridwan, Sekretaris YPP-PDRI tahun 1948-1949 Sumbar kepada wartawan di Limapuluh Kota, Selasa (25/4).
Kesepakatan 5 Menteri itu, katanya, tidak hanya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi juga meliputi menteri di Kementerian Pertahanan, Kementerian Sosial, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Termasuk juga 4 lembaga non kementerian lainnya.
Mendikbud selaku salah satu kementerian yang terlibat dalam SKB 5 Menteri, harap Ferizal, mestinya ikut mendorong kementerian dan lembaga negara lain merealisasikan komitmen yang sudah dibuat pada rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu. Terutama perihal pemberian kompensasi terhadap daerah-daerah di basis PDRI. Ferizal mengaku sangat kecewa dan menyesalkan apabila pihak kementerian mengambil langkah penghentian pembangunan monumen PDRI di Kototinggi, hanya karena alasan teknis pengerjaan oleh perusahaan pelaksana proyek. Karena, itu merupakan tanggungjawab penuh perusahaan pelaksana proyek.
“Tentu saja, banyak tokoh dan masyarakat di daerah kami akan dirugikan, jika saja pembangunan monumen (PDRI) dihentikan. Karena tidak sedikit upaya yang sudah dilakukan, guna memperjuangkan, serta mengupayakan pelurusan sejarah bangsa ini. Jangan hanya karena muak melihat satu tikus, lalu lumbung dibakar,” kritik Ferizal.
Sebagai kuasa pengguna anggaran atas proyek, Ferizal tidak mempersoalkan proses evaluasi yang dilakukan Kemendikbud. Karena secara kewenangan, Mendikbud memiliki kewenangan penuh atas tugas tersebut. Tetapi, ia mengharapkan Kementerian jangan hanya mempertimbangkan tata-letak koordinat atau masalah kegagalan teknisnya.
Mendikbud kiranya perlu mempertimbangkan dan mengevaluasi atas kelanjutan anggaran atau kompensasi lainnya, sesuai komitmen yang sudah dibuat. Ferizal mengajak, Mendikbud memahami sejarah tentang PDRI 1948-1949 yang menjadi mata rantai agenda nasional, yakni Bela Negara. Pada kesempatan itu, Menteri juga sempat mengunjungi tugu serta kantor PDRI di Koto Tinggi, serta melihat titik kordinat tempat para pahlawan berdiskusi ketika PDRI terjadi. Tidak hanya itu, pada kesempatan itu menteri juga mengunjungi beberapa sekolah, salah satunya SDN 03 Guguak. Sebelumnya, dirumah dinas Bupati menteri menyampaikan pihaknya akan melakukan berbagai terobosan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Diantaranya, meningkatkan peran guru dalam proses belajar mengajar, serta menerapkan seluruh sekolah menjadi sekolah faforit. “Nanti tidak ada lagi, sekolah yang menolak siswa yang ada di zonanya,”ungkapnya. Selain itu, Mendikbud juga meminta kepada seluruh komite sekolah mendampingi guru dan mengajak seluruh lapisan bahu-membahu membangun sekolah yang maju. “Jangan sampai ada politik kotor dalam kemajuan pendidikan, Indonesia harus jernih dari politik-politik kotor,” ujarnya.
(Nahar Sago)