EkspresNews.com – Dua orang masyarakat hukum adat Nagari Koto Malintang yang menebang 2 batang kayu di tanahnya sendiri dituntut 10 bulan oleh Penuntut Umum. Tuntutan dibacakan pada persidangan di Pengadilan Negeri Lubuk Basung Selasa, 13 Maret 2018 dengan agenda Tuntutan dari Penuntut Umum. Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan 2 orang Terdakwa (Agusri Masnepi dan Dt. Samiak) terbukti melakukan tindak pidana menebang kayu tanpa izin dalam kawasan hutan sebagaimana Pasal 82 ayat (2)UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Nagari Koto Malintang sendiri adalah nagari yang memiliki Kearifan Lokal. Untuk menebang sebatang kayu pun harus melewati mekanisme izin yang sangat ketat. Sekalipun kayu yang akan ditebang ada di tanah ulayat atau pusako tinggi sendiri. Izin-izin diperoleh secara berjenjang mulai dari pemilik ulayat, ninik mamak, KAN dan terakhir Wali Nagari. Berkat kearifan ini pula nagari ini diberikan penghargaan Kalpataru tahun 2013 yang diserahkan langsung oleh presiden Susilo Bambang Yudiyono kala itu dan juga menerima penghargaan Wahana Lestari tahun 2014 dari Kementrian Lingkungan Hidup.
Kasus ini yang berawal dari Agustri Masnefi yang berencana membuat kedai di tepi Danau Maninjau untuk usaha berjualan sate dan sekaligus sebagai tempat tinggal meminta izin kepada Ninik Mamak sebagai pemilik ulayat di Koto Malintang serta disetujui oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) serta Wali Nagari Koto Malintang untuk mengambil kayu milik kaum Istri Agustri Masnefi yang terletak di Jorong Muko Muko. Tiba-tiba Kepolisian Resor Agam dan BKSDA menangkap masyarakat yang menebang kayu sesuai kearifan lokal ini dengan dasar klaim sepihak sebagai kawasan hutan cagar alam. Nyatanya sampai saat ini pada area tersebut belum ada penetapan status kawasan hutan dan masyarakat tidak pernah mengetahui proses klaim kawasan hutan cagar alam oleh negara.
Pada persidangan sebelumnya pihak kuasa hukum menghadirkan ahli-ahli untuk memberikan keterangan, yaitu Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM yang merupakan ahli masyarakat adat dan Hak Asasi Manusia, Dr. Kurniawarman, S.H., M.Hum, ahli hukum Agraria dan hukum adat serta Abdul Fickar Hadjar, ahli pidana dari universitas Trisakti. Ahli-ahli ini menjelaskan bagaimana pengakuan terhadap masyarakat adat, bagaimana banyaknya konflik-konflik negara dengan masyarakat akibat penetapan kawasan hutan yang sewenang-wenang serta bagaimana kasus-kasus semacam ini tidak tepat menggunakan pendekatan pidana. Abdul Fickar Hadjar menerangkan, keduanya tidak dapat dipidana karena unsur pidananya tidak terpenuhi. Bagaimana mungkin seseorang dipidana pada kawasan hutan yang penetapan kawasannya sendiri tidak ada, sehingga belum dapat disebut sebagai kawasan hutan.
Sidang berikutnya akan digelar pada Senin, 19 Maret 2018 dengan agenda pembelaan. Keluarga berharap hakim memberikan keadilan dengan membebaskan kedua terdakwa. Vonis bersalah terhadap Terdakwa adalah bentuk pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat terhadap tanah yang telah dikelola secara turun temurun. (Relis)